Jumat, 31 Desember 2010

IMPLIKATUR


Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa (linguistik) yang belakangan ini semakin dikenal. Salah satu bagian pragmatik yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Implikatur. Konsep implikatur pertama kali dikenalkan oleh H.P Grice (1975) untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur bahasa dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harafiah (Brown dan Yule, 1983:31 dalam Abdul Rani, 2006:176). Untuk lebih jelasnya, akan dijelaskan bahasan implikatur secara rinci di bawah ini.

 
A. Pengertian Implikatur
Dijelaskan lebih lanjut bahwa Grice (dalam Suseno,1993:30 via Mulyana) mengemukakan bahwa implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu "yang berbeda" tersebut adalah maksud pembicara yang dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.
Dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversation mengemukakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan bersangkutan. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut implikatur (implicature). Karena implikatur bukan merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, hubungan kedua proposisi itu bukan merupakan konsekuensi mutlak (necessary consequence).
Secara etimologis, implikatur diturunkan dari kata implicatum dan secara nomina kata ini hampir sama dengan kata implication, yang artinya maksud, pengertian, keterlibatan (Echols,1984:313 via Mulyana).
Secara structural, implikatur berfungsi sebagai jembatan/rantai yang menghubungkan antara "yang diucapkan" dengan "yang diimplikasikan".    
    Menurut PWJ Nababan (1987:28) dalam Abdul Rani menyatakan bahwa implikatur berkaitan erat dengan konvensi kebermaknaan yang terjadi di dalam proses komunikasi. Konsep itu kemudian dipahami untuk menerangkan perbedaan antara hal "yang diucapkan" dengan hal "yang diimplikasikan".

 
B. Jenis-jenis Implikatur
    Grice (1975) dalam Abdul Rani (2006: 171) menyatakan, bahwa ada dua macam implikatur, yaitu (1) conventional implicature (implikatur konvensional), dan (2) conversation implicature (implikatur percakapan).Berikut ini merupakan penjelasan dua macam implikatur tersebut:
  1. Implikatur konvensional
    Implikatur konvensional yaitu implikatur yang ditentukan oleh "arti konvensional kata-kata yang dipakai". Maksudnya adalah pengertian yang bersifat umum, semua orang umumnya sudah mengetahui tentang maksud atau pengertian sesuatu hal tertentu.

    Contoh:
    (1). Lestari putri Solo, jadi ia luwes.
    Implikasi umum yang dapat diambil antara putri Solo dengan luwes pada contoh di atas bahwa selama ini, kota Solo selalu mendapat predikat sebagai kota kebudayaan yang penuh dengan kehalusan dan keluwesan putrid-putrinya. Implikasi yang muncul adalah, bahwa perempuan atau wanita Solo umumnya dikenal luwes penampilannya.
    Implikatur konvensional bersifat nontemporer. Artinya, makna atau pengertian tentang sesuatu bersifat lebih tahan lama. Suatu leksem, yang terdapat dalam suatu bentuk ujaran, dapat dikenali implikasinya karena maknanya "yang tahan lama" dan sudah diketahui secara umum.
  2. Implikatur percakapan
    Implikatur jenis ini dihasilkan karena tuntutan dari suatu konteks pembicaraan tertentu. Implikatur percakapan ini memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi. Pasalnya, pemahaman terhadap hal "yang dimaksudkan: sangat bergantung kepada konteks terjadinya percakapan. Jadi, bila implikatur konvensional memiliki makna yang tahan lama, maka implikatur percakapan ini hanya memiliki makna yang temporer yaitu makna itu berarti hanya ketika terjadi suatu percakapan tersebut/terjadi pembicaraan dalam konteks tersebut.
    Dalam suatu dialog (percakapan), sering terjadi seorang penutur tidak mengutarakan maksudnya secara langsung. Hal yang hendak diucapkan justru 'disembunyikan', diucapkan secara tidak langsung, atau yang diucapkan sama sekali berbeda dengan maksud ucapannya.
    Contoh:
    (2)    Ibu    : Ani, adikmu belum makan.
        Ani    : Ya, Bu. Lauknya apa?
    Pada contoh di atas, percakapan antara Ibu dengan Ani mengandung implikatur yang bermakna 'perintah menyuapi'. Dalam tuturan itu, tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan yang diucapkan Ibu hanyalah pemberitahuan bahwa 'adik belum makan'. Namun, karena Ani dapat memahami implikatur yang disampaikan Ibunya, ia menjawab dan kesiapan untuk melaksanakan perintah ibunya tersebut.
    Grice menjelaskan bahwa implikatur percakapan itu mengutip prinsip kerjasama atau kesepakatan bersama, yakni kesepakatan bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan harus saling berkait. Grice mengemukakan pula bahwa prinsip kerjasama yang dimaksud sebagai berikut: Berikanlah sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan tujuan atau arah pertukaran pembicaraan Anda terlihat di dalamnya. Dengan prinsip umum tersebut, dalam perujaran, para penutur disarankan untuk menyampaikan ujarannya sesuai dengan konteks terjadinya peristiwa tutur, tujuan tutur, dan giliran tutur yang ada. Prinsip kerjasama ini, ditopang oleh seperangkat asumsi yang disebut prinsip-prinsip percakapan (maxims of conversation) yang meliputi: (1) prinsip kuantitas, memberi informasi sesuai dengan yang diminta (2) prinsip kualitas, menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya (3) prinsip hubungan, memberi sumbangan informasi yang relevan dan (4) prinsip cara, menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan. Tiga yang pertama berkenaan dengan 'apa yang dikatakan', dan yang keempat berkenaan dengan 'bagaimana mengatakannya'.
    Namun, prinsip kerjasama ini disanggah oleh Leech (1985:17) via Abdul Rani (2006) yang mengatakan bahwa, dalam pragmatik, komunikasi bahasa merupakan gabungan antara tujuan ilokusi dan tujuan sosial. Dengan demikian, dalam komunikasi bahwa itu, di samping menyampaikan amanat dan bertindak tutur, kebutuhan dan tugas penutur adalah menjaga agar percakapan berlangsung lancar, tidak macet, tidak sia-sia, dan hubungan sosial antara penutur pendengar tidak terganggu. Untuk itu, menurut Leech, prinsip kerjasama Grice harus berkomplemen (tidak hanya sekedar ditambah) dengan prinsip sopan santun agar prinsip kerjasama terselamatkan dari kesulitan menjelaskan antara makna dan daya.
    Contoh:
    (3) Ibu (I)        : "Ada yang memecahkan pot ini"
        Anak (A)    : "Bukan saya!"
    Dari contoh di atas, si Anak (A) memberikan jawaban yang seakan-akan tidak gayut (pelanggaran prinsip hubungan): A bereaksi seolah-olah dia harus menyelamatkan dirinya dari suatu perbuatan jahat padahal dalam kalimat si Ibu (I) tidak ada kata-kata menuduh A melakukan perbuatan tersebut. Dalam situasi seperti itu, jawaban berupa penyangkalan A sebetulnya dapat diramalkan dan ketidakgayutan (pelanggaran prinsip hubungan) dapat dijelaskan sebagai berikut.

    Kita andaikan I tidak tahu siapa yang melakukan perbuatan tersebut, tetapi ia mencurigai A. Karena I ingin bersifat sopan, I tidak mengucapkan tuduhan langsung. Sebagai pengganti, ia membuat pernyataan yang kurang informatif, tetapi benar, yaitu mengganti pronominal kamu dengan 'ada yang'. A menangkap maksud I dan pernyataan I ditafsirkan oleh A sebagai suatu tuduhan tidak langsung. Akibatnya, ketika A mendengar pernyataan itu, A memberi respons sebagai orang yang dituduh, yaitu A menyangkal suatu perbuatan yang belum dituduhkan secara terbuka. Jadi, pelanggaran maksum hubungan dalam jawaban A disebabkan oleh implikatur di dalam ujaran I, sebuah implikatur tidak langsung yang dimotivasi oleh sopan santun. Jadi, sasaran jawaban A adalah implikatur ini, bukan ujaran I yang sesungguhnya diucapkan.
    Menurut Levinson (1983) via Abdul Rani (2006:173), ada empat macam faedah konsep implikatur, yaitu:
    1. Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik.
    2. Dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa
    3. Dapat memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama.
    4. Dapat memerikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora).

 
Dari keterangan itu, jelas bahwa kalimat-kalimat yang secara lahiriah kita lihat tidak berkaitan, tetapi bagi orang yang mengerti penggunaan bahasa itu dapat menangkap pesan yang disampaikan oleh pembicara, seperti:

 
(4).
Suami    : "Si Cuplis menangis minta mimik ibunya!"
     Istri    : "Saya sedang menggoreng."

 
Kedua kalimat di atas secara konvensional struktural tidak berkaitan. Tetapi, bagi pendengar yang sudah terbiasa dengan situasi yang demikian akan paham apa arti kalimat kedua itu. Si istri tidak menjawab ujaran suami bahwa Si Cuplis (anaknya) menangis karena diduga oleh si suami haus dan minta minum susu ibunya, tetapi hanya menyatakan bahwa dirinya sedang menggoreng. Dan, jelas kalimat tersebut hanya dapat dijelaskan oleh kaidah-kaidah pragmatik saja.

 
Keberadaan implikatur dalam suatu percakapan (wacana dialog) diperlukan antara lain untuk:
  1. Memberi penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik struktural.
  2. Menjembatani proses komunikasi antarpenutur.
  3. Memberi penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana kemungkinan pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud.
  4. Dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antarklausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur yang sama.
  5. Dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang secara lahiriah tidak berkaitan (Levision dalam PWJ Nababan, 1987:28).

 
Istilah implikatur berantonim dengan kata eksplikatur. Menurut Grice (Brown & Yule, 1986:31 dalam Abdul Rani (2006), istilah implikatur diartikan sebagai "what a speaker can imply, or mean, as distinct from what a speaker literally says". Senada dengan itu, Pratt menyatakan (1981; 1977 via Abdul Rani) "what is said is implicated together from the meaning of the utterance in that context." Dari pengertian dia atas. diketahui bahwa implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur). Menggunakan implikatur dalam berkomunikasi berarti menyatakan sesuatu secara tidak langsung.

 

 
Contoh:
(5)    (Konteks: Udara sangat dingin. Seorang suami yang mengatakan pada istrinya yang sedang berada di sampingnya).
    Suami    : "Dingin sekali!"
Transkip ujaran suami yang tidak disertai dengan konteks yang jelas dapat ditafsirkan bermacam-macam, antara lain:
    (5a)    permintaan kepada istrinya untuk mengembalikan baju hangat, jaket, atau selimut, atau minuman hangat untuk menghangatkan tubuhnya
    (5b)    permintaan kepada istrinya untuk menutup jendela agar angin tidak masuk kamar sehingga udara di dalam ruangan menjadi hangat.
    (5c)    pemberitahuan kepada istrinya secara tidak langsung bahwa kesehatannya sedang terganggu.
    (5d)    permintaan kepada istrinya agar ia dihangati dengan tubuhnya.

 
Makna dari keempatnya tersebut merupakan makna implikatur. Makna umum secara tersurat (literal), yang biasa disebut eksplikatur, contoh di atas adalah "informasi bahwa keadaan (saat itu) sangat dingin". Dari sini, terlihat jelas perbedaan makna implikatur dan ekplikatur.
    Dari penjelasan di atas, ternyata implikatur dapat dibedakan menjadi beberapa macam berdasarkan bentuk eksplikaturnya. Berikut ini paparannya lebih lanjut:
  1. Implikatur yang berupa makna yang tersirat dari sebuah ujaran (between the line), merupakan implikatur yang sederhana.
  2. Implikatur yang berupa makna yang tersorot dari sebuah ujaran (beyond the line), yang merupakan lanjutan dari implikatur yang pertama.
  3. Implikatur yang berkebalikan dengan eksplikaturnya. Meskipun berkebalikan, hal itu pada umumnya tidak menimbukan pertentangan logika.


C. Ciri-ciri Implikatur
    Gunarwan (dalam Rustono, 1999:89 via guru-umarbakri.blogspot.com) menegaskan adanya tiga hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan implikatur, yaitu:
(1) implikatur bukan merupakan bagian dari tuturan,
(2) implikatur bukanlah akibat logis tuturan,
(3) sebuah tuturan memungkinkan memiliki lebih dari satu implikatur, dan itu bergantung pada konteksnya.

 
D. Contoh Implikatur
* Latihan
1.     A    : Bambang datang
    B    : a. Rokoknya disembunyikan
              b. Aku akan pergi dulu
             c. Kamarnya dibersihkan
            
    I    mp    : a. Mungkin Bambang adalah perokok, tapi ia tidak pernah membeli rokok. Merokok kalau ada yang memberi, dan tidak pernah member temannya, dsb.
            b. Mungkin tidak senang dengan Bambang
            c. Mungkin Bambang adalah seorang pembersih. Ia akan marah-marah melihat sesuatu yang kotor.

 
2. Bapak    : Baju Bapak belum diseterika
    Ibu    : Ibu sedang menyuapi adek, Pak
    Imp    : Ibu menolak menyetrikakan baju Bapak karena sedang menyuapi adek makan

 
3.     (Konteks: Jam menunjukkan pukul 10 malam. Seorang ibu kos menegur anak kos yang masih duduk di depan bersama teman-temannya)
    Ibu Kos    : "Sudah jam sepuluh, Mbak!"

 
    Imp    : a.Ibu kos meminta teman-teman anak kosnya untuk segera pulang
     b. Ibu kos bermaksud memberi tahu bahwa jam berkunjung sudah lewat dari batasnya
    …

 
4. Kemarin aku bertemu dengan si Ucok yang pembawaannya keras. Pantas saja, ternyata dia orang Batak.
    Selama ini, orang Batak selalu dipandang sebagai orang yang berwatak keras, implikasi yang muncul adalah orang Batak, pembawaannya keras.

 
5. Deni bak orang Negro, jadi dia hitam
            Selama ini kita tahu bahwa Orang Negro identik dengan kulit hitam, maka implikasi yang muncul adalah orang Negro berkulit hitam.

 
6. Janganlah seperti Linling, yang perhitungan, kamu bukan orang Cina.
            Selama ini kita tahu nama Lingling identik dengang nama orang Cina. Orang Cina juga identik dengan pelit atau perhitungan dengan uang. Implikasi yang muncul adalah orang Cina perhitungan/pelit.

 
7. Dia orang Padang, dia suka sekali makanan pedas.
            Selama ini, orang Padang selalu suka makan pedas, implikasi yang muncul adalah Orang Padang suka makanan yang pedas.

 
8.     A    : Aduh, perutku keroncongan.
    B    : Ok, kita ke warung Rata-rata saja.
    Implikatur    : …

 
9.     A    : Bu Guru sudah datang
    B    : a. Cepat keluarkan buku di atas meja!
             b. Jangan ramai!
             c. Cepat duduk ditempat masing-masing!
             d. PRmu sudah kamu kerjakan belum?
    Implikatur    : a. …
                 b. …
                 c. …
                 d. …

 

 
10. (Konteks: Malam minggu, pria dan wanita sedang pendekatan)
    Pria    : "Wah, nanti malam sudah malam minggu nih…"

 
    Implikatur    : ….

 

 

 

 

 

 
Daftar Pustaka

 
guru-umarbakri.blogspot.com. Pragmatik diakses 3 Februari 2010 pukul 15.00
Rani, Abdul, dkk. 2006. Analisis Wacana. Jawa Timur: Banyumedia Publishing
Subagyo, Ari P. Pragmatik 1 (handout). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma
Widharyanto, B. handout perkuliahan: Unsur-Unsur Wacana

 

 

 

Minggu, 26 Desember 2010

We Wish You a Merry Chrismas

Natal tahun ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bertempat di Gereja Santo Mikael Gombong, perayaan natal tahun ini terkesan sangat sederhana. Dengan mengusung tema tahunan yang disepakati oleh KWI dan PGI tahun 2010, yakni "Terang yang Sesungguhnya sedang Datang ke Dalam Dunia" (bdk. Yoh 1:9). Maka, tidak heran panitia natal Gereja Santo Mikael membuat konsep natal dengan sangat sederhana. Seperti hiasan natal yang paling utama, yakni gua natal yang dibuat begitu kreatif, dengan mengandalkan batu bata yang setengah jadi, gua natal disulap menjadi kandang yang disusun begitu apik. Pohon terang yang dibuat pun tidak begitu banyak, hanya beberapa buah yang dipasang untuk 'pemanis' di setiap ruang untuk umat duduk. Upacara ekaristi juga dibuat semakin syahdu dan kusyuk, lampu-lampu penerang dimatikan ketika iring-iringan putra-putri altar diikuti Romo dan prodiakon memasuki altar. Dan, memang benar, dalam homilinya Romo Paul selaku Romo yang memimpin jalannya misa juga menjelaskan tentang tema yang diangkat. Kesederhanaan ini mengingatkan kita pada keluarga kudus Yosep dan Maria ketika itu. Kegelapan menandakan kita yang hilang arah, dan hanya cahaya bintang yang mampu menuntun. Keprihatinan tidak sebanding dengan hura-hura ketika alam ikut sedih atas tingkah laku manusia. Yesus yang lahir memang untuk menyelamatkan manusia, membuat kita berkaca, bahwa manusia harus mencintai Tuhan, sesama dan hasil ciptaan Tuhan (alam).

Kanak-kanak Yesus Ikut Berpesta
Sabtu pagi, tepat di tanggal 25 Desember, misa kanak-kanak dimulai. Dua tempat duduk di barisan depan khusus disediakan untuk anak-anak. Koornya pun anak-anak seumuran SD. Sangat meriah. Ditambah visualisasi drama yang idenya diambil dari bacaan 1,2 dan Injil. Iringan lagu backsoundnya sangat ceria, ekspresi anak-anak yang memainkannya menggelitik untuk terus tersenyum. Pit Hitam dan Santa Claus 'jadi-jadian' ikut memeriahkan untuk membagikan hadiah berupa buku cerita untuk anak-anak PIA di salah satu paroki yang berada di pelosok. Tahun ini, entah mengapa pesan yang ingin disampaikan begitu terasa. Bagaimana tidak, semua begitu jelas karena terdapat relevansi dengan kehidupan kita saat ini.
Semoga tahun berikutnya, saya bisa merasakan natal yang berkesan (lagi) seperti tahun ini, karena tahun-tahun sebelumnya saya sempat merasakan natal dengan suasana yang 'wah'.

Selamat Natal 2010 dan Tahun Baru 2011
GBU all...

Saya bergaya di depan altar
 
  Saya dengan Pit Hitam dan Santa Claus..
  Bisa dilihat kandang natal dengan suasana batu batanya?
  Ya seperti itulah...



Nah itu lhoo... kira-kira kandang batanya,.. hhee.. keren kaan?

Rabu, 22 Desember 2010

Bola-Bola Daging Saus Asam Manis

Malam ini saya maka enak. Hehehehe... Awalnya begini, sore tadi, pacar saya minta dimasakin telor dadar 'ala'nya, (pakai loncang, cabe, bumbu penyedap, mrica bubuk dikit). Nah, saya pun mengiyakan untuk memasak telor dadar 'ala'nya. Sesampai di warung terdekat, ternyata ada daging ayam yang cukup menggiurkan untuk ikutan dimasak. Alhasil saya punya ide untuk bereksperimen ria lagi.. Hmm kepikiran bikin bola-bola daging saus asam manis yang pernah saya buat saat Idul Adha kemaren. Dan tarrraaaaaa... jadilah... meski g begitu jelas.. kira-kira beginilah adanya (maklum anak kos).

Nii saya bagiin resep yang malem ini saya buat yaa.. hahhaha :)

Bahan:
* Daging (bisa apa ja, asal jangan daging manusia, daging yang wajar-wajar ajja)
* Daging di potong dadu
* Tepung maizena, tepung bumbu siap saji (yang gampang nyarinya d warung-warung), tepung roti (kalo pengen kriuukkk, hohoho)

Bumbu:
* Bawang bombany, bawang putih
* Wortel (potong korek api)
* Jeruk nipis (di ambil airnya)
* Saus tomat dan saus cabai (banyakin saus tomatnya)
* Mrica bubuk
* garam dan gula (biar gurih)

Cara pembuatan:
1. Daging yang sudah dipotong dimasukkan ke tepung (lihat cara di bungkus tepung siap saji) beri campuran tepung roti agar lebih kriuukk..
2. Goreng daging sampai berwarna kecoklatan dan matang.
3. Untuk sausnya, masak bawang bombay sampai layu, masukkan bawang putih (bawang putih selalu terakhir agar tidak gosong), kemudian masukkan wortel, masak sampai layu.
4. Masukkan saus tomat, saus cabai.
5. Masukkan tepung maizena yang sudah dilarutkan dengan air (jika ingin saus tampak kental)
6. Tambahkan garam, gula, merica bubuk (agar lebih sedap)
7. Tambahkan air jika ingin sediki encer.
8. Bola-bola Daging Saus Asam Manis siap disajikan (tambahkan potongan nanas jika ingin segar).

>>>> hasil foto dari kamera 1,3 pixel.. hahhaa.. tp ky gt enak banget lho

Sabtu, 18 Desember 2010

MENGANALISIS DRAMA GERBANG PENGCHIANAT Karya: Morna Stuart

I. DATA TEKS DRAMA

Judul buku : Gerbang Pengchianat
Karya : Morna Stuart
Penerbit : Jajasan Kanisius
Tahun : 1968

II. ANALISIS UNSUR-UNSUR DRAMA
A. Jenis Drama
Drama ini merupakan salah satu jenis drama tragedi karena drama ini dapat menyebabkan penonton maupun pembaca dapat merasakan pertikaian yang terjadi di dalamnya. Konfliknyapun menimbulkan ketegangan dan penonton atau pembaca dapat merasakan kelegaan emosional setelah mengalami ketegangan dan pertikaian batin yang biasa disebut dengan katarsis.
Berdasarkan ragam bahasa yang dipakai, drama ini termasuk drama yang menggunakan ragam berbahasa Indonesia ragam umum walaupun masih menggunakan ejaan yang belum disempurnakan atau masih menggunakan ejaan lama.
Jika dilihat dari bentuk sastra cakapannya, drama ini menggunakan bentuk sastra cakapan prosa. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya dialog antar tokoh-tokohnya. Dari segi kuantitas cakapannya, drama ini termasuk dalam kelompok drama banyak kata karena menggunakan banyak kata atau dialog. Termasuk pula dalam kelompok drama dialog karena menyangkut banyak tokoh yang dituntut untuk berdialog.
Untuk media pementasannya sendiri, drama ini dapat termasuk dalam drama pentas (panggung). Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa drama ini memiliki tujuan sebagai drama yang dapat dipentaskan, selain itu dapat pula disebutkan bahwa drama ini bertujuan sebagai sosiodrama, maksudnya di dalam drama ini dapat dilihat berbagai masalah sosial, politik dan agama yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada yang membaca maupun yang menonton tentang berbagai masalah tersebut. Jika dilihat dari penonjolan unsur seninya, drama ini merupakan drama kata, karena meononjolkan dialog antar tokoh-tokohnya dan juga bahasa tubuh mereka.
Drama ini merupakan drama terjemahan, artinya drama ini merupakan drama yang dibuat sendiri oleh Morna Stuart dengan judul Traitorsgate namun dialihbahasakan atau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Seminari Mertoyudan. Drama yang termasuk dalam drama panjang ini terdiri dari tiga babak dimana babak dua dan tiga masih dibagi lagi menjadi beberapa bagian.




B. Tokoh
Tokoh-tokoh yang ada dalam drama ini:
Thomas More : bekas Kanselir Raja
Thomas Cromwell : para pengikut Raja
Lord Norfolk : para pengikut Raja
Advokat Jendral Rich : para pengikut Raja
Palmer Cranmer : Uskup baru yang diangkat atas persetujuan Raja
Margareth : anak More
Peg : anak More
Clement : anak More
Willian Roper : anak More
Nicholas Wilson : bekas bapa pengakuan istana

Dalam drama ini dapat kita lihat peranan masing-masing tokoh dalam memainkan drama tersebut. Thomas More merupakan tokoh utama dalam drama ini karena akan mengulas perjalanan Thomas More dalam mempertahankan tujuannya yang pertama dan yang paling utama,yakni ”Mengabdi pada Tuhan dahulu, baru kemudian mengabdi raja”. Jika dilihat peranannya yang lain yaitu dari segi tokoh-tokoh tambahannya, keempat putera-puteri Thomas More, para pengikut Radja, Uskup baru, dan bekas Bapa pengakuan istana bisa dikategorikan sebagai tokoh tambahan.
Sedangkan berdasarkan fungsinya, tokoh dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu:
a. Tokoh Protagonis yaitu tokoh yang diharapkan berfungsi untuk menarik simpati dan empati. Dalam drama tokoh protagonis yaitu: Thomas More.
b. Tokoh Antagonis yaitu tokoh yang berfungsi sebagai penentang tokoh utama dari tokoh protagonis. Dalam drama tokoh antagonis dapat dilihat melalui tokoh : Raja Hendrik VIII (raja Inggris), dan tiga pengikutnya yaitu Thomas Cromwell, Lord Norfolk, dan Advokat Jendral Rich.
c. Tokoh Tritagonis yaitu tokoh yang berpihak pada tokoh protagonis atau antagonis. Dalam drama ini tokoh tritagonis lebih berpihak pada tokoh protagonis, dapat kita lihat melalui keempat anak Thomas More yang membela ayahnya yaitu Margareth, Peg, Clement, dan William Roper, selain itu ada pula tokoh yang juga berpihak pada tokoh protagonis yaitu Cranmer, Uskup baru yang diangkat atas persetujuan Raja yang masih menghormati Thomas More, dan Nicholas Wilson, bekas Bapa pengakuan istana yang senasib dengan Thomas More rela dibilang pengkhianat karena tidak mau bersumpah.
Berdasarkan pengungkapan wataknya drama ini merupakan drama yang tokoh-tokohnya masuk dalam kategori tokoh bulat yaitu pelaku dalam drama ini dapat dibedakan watak tokoh-tokohnya sehingga penonton atau pembaca dapat terkejut karena tokoh dapat memiliki watak di luar dugaan.
Menurut pengembangan wataknya tokoh dalam drama ini termasuk dalam tokoh berkembang, artinya dalam setiap babak, tokoh mengalami perubahan watak dan berkembang sehingga penonton dapat terkejut dibuatnya karena penuh dengan kejutan.
Jika dilihat pencerminannya dalam kehidupan nyata, tokoh yang digambarkan termasuk tokoh tipikal karena mencerminkan orang atau sekelompok orang dalam suatu lembaga yang nyata, misalnya drama tersebut diceritakan di sebuah kerajaan Inggris dan di dalamnya terdapat tipikal seorang Raja, Kanselir, maupun Uskup yang dalam kehidupan nyata memang benar adanya. Untuk tokoh netral keempat anak Thomas More dapat masuk ke dalamnya karena tokoh tersebut hadir semata-mata demi drama tersebut dan tidak berpretensi mewakili sesuatu di luar diri mereka.
Untuk kebadanan tokohnya sendiri, drama ini tidak begitu jelas dalam menggambarkan tokoh-tokohnya. Hanya saja, kita dapat menemukan sedikit ciri keadaan kebandanan tokoh Thomas More sebagai berikut: seorang laki-laki dari keluarga biasa dan memiliki anak empat putra dan putri. Sedangkan tokoh-tokoh yang lain kurang dijelaskan ciri-ciri kebadanannya.
Ciri-ciri kejiwaan dari tokoh Thomas More adalah sebagai berikut: pandai dalam bahasa klasik, Latin, dan Yunani. Ia menjadi seorang suami dan ayah yang baik dan bijkasana, tetapi juga tegas, berhati-hati dan selalu menggunakan pikiran dan akal sehat. Sedangkan dari sisi kemasyarakatannya Thomas More merupakan seorang ahli hukum yang terkenal, pandai dalam kenegaraan, mudah bergaul dengan rakyat kecil, tidak kaku dalam pergaulan orang-orang besar negara. Jika dilihat tokohnya yang lain seperti Thomas Cromwell, dia digambarkan sebagai seorang Kanselir pengganti Thomas More yang sanggup mengubah politik menurut kehendak raja, tanpa memandang cara maupun sarana,asal membawa keharuman negara,meski dengan mengorbankan negara.
Teknik penyajian tokoh dalam drama ini merupakan penokohan secara langsung maksudnya pengarang mendeskripsikan tiap tokoh pada bagian awal teks drama atau dengan cakapan si tokoh, tingkah laku tokoh, dan juga melalui cakapan tokoh lainnya. Misalnya pada percakapan antara Thomas More dengan Nicholas Wilson terdapat kutipan tentang penggambaran watak tokoh Thomas More yaitu:
Wilson : ”.................. . Kamu itu berhati-hati dan selalu menggunakan pikiran dan akal sehat......” (Babak II baian 2, hal 43)

C. Alur
Di dalam drama Gerbang Pengchianat ini dapat kita lihat beberapa unsur alur yang perlu dianalisis yaitu:
a. Eksposisi/Paparan
Dimulai dengan adanya percakapan Thomas More dengan keempat anaknya di rumah kediamannya di Chelsea. Dalam drama ini, diperkenalkan siapa Thomas More dan anak-anaknya ( babak 1, hal 10).
Peg : ........... . Seumpama ayah masih menjadi Kanselir, harus bersumpah juga dan tidak ada jalan lain.

b. Rangsangan
Adanya pandangan yang saling bertentangan dalam drama, dapat dilihat dengan munculnya thomas Cromwell dan Lord Norfolk yang berbeda pandangan dengan Thomas More soal sah tidaknya pernikahan Sri Baginda dan bercerai dengan permaisuri yang dahulu ( babak 1, hal 15).
Cromwell : Soal sah dan tidaknya perkawinannya, Sri Baginda bercerai dengan permaisuri yang dahulu dan sekarang kawin lagi.

c. Konflik/Tikaian
Konflik yang terjadi pada drama ini dimulai ketika Thomas More menghadap ke pengadilan bersama dengan seorang imam, bekas imam istana yang juga tidak sependapat bahwa Raja menikah lagi dan di sana mereka bertengkar dengan Cromwell dan Norfolk karena mereka masih teguh pada pendiriannya tidak mau bersumpah demi raja ( babak 2 bagian 2, hal 48)
More : ............ . Sekarang sudah tidak dapat mundur; Kita hanya tinggal harus berhadapan dengan sumpah. .......


d. Rumitan/Komplikasi
Thomas More disuruh bersumpah rahasia, tetapi dia menolak jika harus bersumpah untuk mengakui Raja sebagai kepala Gereja dan menolak kekuasaan Santo Bapa. Lalu karena tidak mau bersumpah, maka ia lalu di bawa ke Tower, dan dipenjara di sana sampai 15 bulan (babak 3 bagian 1, hal 52).
More : ........... O Tuhan, pertolonganmu, Tuhan! Orang mati karena tidak berani memandang kamu, Tuhan!! Orang mati karena Raja. ........

e. Klimaks
Pada klimaks dalam drama ini bisa ditemukan bahwa thomas More semakin terdesak dengan adanya kedatangan Advokat Jendral Rich yang ingin menyerang More sementara itu para biarawan Karthuiser juga ikut ditahan dan dimasukkan ke penjara. Dan pada bagian ini Thomas More diputuskan bersalah/berkhianat kepada Raja karena telah terlanjur berkata pada advokat Rich bahwa ”Raja itu bukan pembesar Gereja di Inggris” (babak 3 bagian 2, hal 55).
More : ................ . Saya tetap berpegang teguh pada pada hak saya, hak yang selalu saya pertahankan sampai sekarang ini. ...........

f. Krisis
Tanggal 1 Juli Thomas More diadili dan dijatuhi hukuman mati, namun karena Rich bersumpah palsu dan memutarbalikkan kata-kata Thomas More, maka More ditunda hukumannya (babak 3 bagian 2, hal 65).
More : Hukum sudah diputar-balikkan berbeda seperti apa yang kuketahui. ...........

g. Leraian
Thomas More diputuskan berkhianat terhadap Raja dan dihukum mati tanggal 6 Juli 1535 (babak 3 bagian 3, hal 75)
More : Kapan saya harus mati?
Cromwell : Besok, dan Raja......



h. Penyelesaian
Penyelesaian drama ini diakhiri dengan penantian Thomas More yang siap untuk dihukum mati, dan secara tidak langsung ia diangkat menjadi orang kudus karena masih berpegang teguh pada kesetiannya pada Tuhan Yesus Kristus (babak 3 bagian 3, hal 81 ).
More : Imanmu terlihat pada dadamu (mencium salib), Kita ini juga termasuk golongan orang kudus, yang hidup dan yang mati, dan tak akan terpisahkan lagi. ..........

Jenis konflik yang terdapat dalam drama ini adalah konflik antara manusia dengan sesamanya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai pertengkaran dan perbedaan pendapat antara Thomas More dengan teman-temannya. Selain itu kita juga bisa mengatakan pula bahwa terdapat konflik antara manusia dengan pencipta-Nya, yaitu bisa dilihat bagaimana Thomas More tetap berpegang teguh pada pengabdiannya terhadap Tuhan. Jenis selesainnya ini lebih dapat disebut sebagai penyelesaian yang sifatnya katastrofe karena drama ini termasuk jenis drama tragedi dan berakhir menyedihkan. Urutan waktu peristiwanya merupakan alur maju, maksudnya alurnya kronologis, karena drama ini dimulai dari tahap awal kemudian menuju ke tengah hingga mencapai akhir penyelesaian.
Jumlah alur yang dipakai dalam drama ini bisa dikatakan memakai alur jamak, hal ini bisa kita lihat adanya tokoh protagonis yang lebih dari satu, yang memiliki nasib yang sama dalam memegang teguh pendirian. Sedangkan untuk hubungan antarperistiwanya drama ini menggunakan alur padat karena dalam drama ini terdapat peristiwa atau kejadian yang susul-menyusul dan setiap bagian terasa sangat penting dan menentukan. Pada pengakhirannya, alur pada drama ini menggunakan alur tertutup karena pada akhir cerita sangat jelas digambarkan bahwa Thomas More mati dan hal ini membuktikan bahwa kisah pada drama ini diakhiri dengan kepastian secara pasti atau secara jelas. Untuk teknik penyajian alurnya (pengalurannya) dalam drama ini menggunakan penyajian alur secara langsung/deskriptif, jika dilihat dari percakapan antar tokohnya, kita dapat menemukan alur-alurnya, dimana letak paparannya atau konfliknya.

D. Latar
Dalam drama ini dapat ditemukan beberapa latar berdasarkan tempatnya yaitu digambarkan berupa sejarah Gereja Suci di Negara Inggris jaman pemerintahan Raja Hendrik VIII. Ada beberapa tempat dan waktu yang menjadi latar drama ini, yaitu:
1. Pada babak 1 digambarkan berada di rumah kediaman Thomas More di Chelsea pada bulan April 1534.
2. Pada babak 2 digambarkan kejadian terjadi pada hari Minggu bertempat di rumah keluarga Clement di Bucklersbury di London, di sebelah kanannya ada perapian.
3. Pada babak 2 bagian 2 digambarkan latarnya berada di istana Lambeth, saat itu adalah hari Kamis dan bertepatan dengan musim semi.
4. Pada babak 3 bagian 1 digambarkan latarnya berada di sebuah sel di Bell Tower bagian bawah, waktunya adalah di bulan Mei 1535.
5. Pada babak 3 bagian 3 digambarkan latarnya sama, berada di Bell Tower, waktunya adalah sore hari agak gelap.
Sedangkan untuk latar spiritual/sosial/suasananya bergantung pada alurnya, biasanya keluarga Thomas More mengadakan suatu perjamuan kecil seperti acara minum teh sambil bernyanyi, atau dari segi kepercayaan, Thomas More dan teman-temannya yang sependapat dengan More tetap percaya dan yakin bahwa yang memegang kekuasaan sebagai kepala Gereja adalah Santo Bapa bukanlah Raja.
Berdasarkan pencerminannya dalam kehidupan nyata, drama ini termasuk drama yang memiliki latar tipikal karena drama ini menonjolkan sifat khas yang menonjol, hal ini dapat terlihat dari ceritanya yang merupakan sejarah Gereja yang terdapat di Inggris dan bercerita seputar masalah di kerajaan yang jika dilihat dalam masa sekarang di kerajaan Inggris masih terdapat adanya pemimpin kerajaan seperti Raja (sekarang Ratu).
Dalam drama ini tidak ditemukan adanya anakronisme karena tidak ditemukan keganjilan pada setiap kejadian dalam drama. Teknik penyajian latarnya (pelatanrannya) digambarkan secara langsung/deskriptif karena di setiap babak dituliskan pendeskripsian latar baik tempat maupun waktunya.

E. Tema
Tema pada drama ini adalah pengabdian Thomas More kepada Tuhan dengan rela mengorbankan dirinya disebut sebagai pengkhianat karena tidak memihak pada Raja. Menurut penulis, di dalam drama ini terdapat dua tingkatan tema yaitu tingkat sosial dan tingkat devine. Untuk tingkat sosial dapat dilihat hubungan antara tokoh utama dengan sesamanya, tentang bagaimana menghadapi permasalahan dalam bidang sosial, politik dan agama. Sedangkan untuk tingkat devine, hal ini bisa dilihat dalam masalah yang melibatkan hubungan manusia dengan Tuhan, dan dengan keyakinannya itu.
Dalam drama ini sangat jelas ditemukan adanya tema tradisional yang merupakan pikiran utama yang biasanya digunakan dalam karya sastra yang berkaitan dengan masalah kebenaran dan kejahatan, seperti kata More ”Mengabdi pada Tuhan dahulu, baru kemudian mengabdi raja”. Tema mayor dalam drama ini adalah agar kita jangan terpengaruh oleh mereka yang hanya mementingkan keinginannya sendiri. Tema minor pada drama ini adalah adanya kesetiaan pada pemimpin yang tak terbatas. Untuk penyajian temanya (penemaannya) disajikan secara tidak langsung/dramatis/tersirat karena penonton atau pembaca diajak untuk mencari tema yang terkandung dalam drama tersebut.

F. Bahasa
Judul pada drama ini yaitu Gerbang Pengchianat sudah sesuai dengan isi yang diceritakan, tidak ada kerancuan karena judul dan isinya sama-sama menunjukkan tentang bagaimana perjalanan seorang ahli hukum dihukum dan dituduh mengkhianati Raja hanya karena tidak mau bersumpah. Bahasa pada bagian keterangan pementasannya sangat jelas untuk dipahami maksudnya, jadi bagi pembaca yang akan mementaskannya tidak akan kesulitan untuk memahami cara memainkannya. Pada bagian tersebut juga dituliskan tentang situasi dan kondisi para tokoh yang dibahasakan secara jelas. Untuk bahasa cakapannya, menggunakan bahasa Indonesia ragam umum namun masih berupa ejaan lama, jadi pembaca akan merasa tertantang untuk membacanya.
Ada sedikit yang istimewa dari penggunaan bahasa ini, yakni adanya campuran bahasa, maksudnya di beberapa babak ada adegan yang menuntut pemain atau tokohnya menyanyikan lagu dengan bahasa Inggris dan bahasa Latin, tapi keuntungannya penerjemah buku ini memberikan terjemahan kata-kata dalam bahasa selain bahasa Indonesia tersebut.Menurut penulis, karena buku ini adalah buku lama dan merupakan terjemahan, maka sedikit sekali ditemukan adanya ketidaktepatan penggunaan bahasanya. Kalaupun ada menurut penulis, ketidaktepatan pada penggunaan bahasa lebih terlihat pada kesepadanan katanya, bahasa dengan ejaan lama memang terlalu sulit untuk dimengerti, tapi menurut penulis itu semua tidak mempengaruhi ketidaktepatan bahasanya.


G. Hubungan Kelima Unsur Intrinsik
Menurut penulis, drama ini sudah mengandung unsur-unsur yang tergarap, drama ini menunjukkan tokoh-tokohnya baik yang protagonis maupun antagonis, drama ini juga menunjukkan latar-latar yang jelas, dari temanya sendiri baik pembaca maupun penonton yang melihat pementasan ini akan dengan cepat menebak temanya karena sangat jelas, sedangkan yang terpenting untuk alurnya, penonton tidak akan dibuat bingung karena alurnya sendiri kronologis dan secara urut menunjukkan kejadian-kejadian yang akan terjadi.
Unsur yang tergarap secara menonjol menurut penulis ada dua, yaitu dilihat dari alur dan tokohnya. Untuk tokoh, pengarang sangat jeli menunjukkan watak-watak setiap tokoh, pembaca maupun penonton akan mudah memahami dan dapat membadingkan tiap tokohnya. Sementara itu, alurnya yang kronogis dan mengadung hubungan kausalitas juga penting dalam pembuatan drama ini, karena pengarang berusaha menceritakan kembali kejadian masa sejarah yang terjadi pada masa pemerintahan Raja Hendrik VIII, dan pengarang berhasil secara apik merangkai kembali alurnya sehingga pembaca atau penonton seolah bisa merasakan kejadian pada masa itu.
Kesimpulannya drama ini memiliki unsur-unsur yang terpadu secara harmonis, semua unsur saling mengisi dan menjalankan perananya masing-masing. Menurut penulis hanya penggunaan kata dalam bahasa Inggris dan Latinlah yang sedikit mengganggu keterpaduan dan keharmonisan hubungan unsur-unsur itu walaupun begitu tidak merusak keutuhan drama tersebut karena penerjemah dari Seminari Mertoyudan ini juga memberikan terjemahannya. Tapi gangguan tersebut menurut penulis dapat menjawab pertanyaan tentang bagaimanakah aspek keberagamannya? Dengan adanya kata dalam bahasa asing tersebut justru menambah keberagaman pembaca maupun penonton untuk mengenal kata-kata asing tersebut.






III. ASPEK PEMENTASAN DRAMA
A. Pelaku/pemain
Drama ini sangat menuntut para pemain yang berperan sebagai tokoh-tokoh dalam drama ini untuk memahami watak para tokohnya. Tentang bagaimana para pemain memerankan sikap bijaksana dari Thomas More maupun sikap keras kepala dari tokoh Cromwell. Agar tampak meyakinkan, diharapkan bantuan setiap pemain untuk terus berlatih tentang bagiamana menghafal dialog yang menggunakan bahasa Latin.

B. Pentas/panggung/tempat
Hal pertama yang perlu diperhatikan bagi seksi dekorasi adalah tentang bagaimana membuat latar dengan berbagai suasana. Seperti yang sudah dijelaskan di awal, bahwa penata dekorasi haruslah membuat beberapa latar seperti membuat istana, penjara, rumah dengan waktu yang berbeda pula, pagi hari, sore hari maupun pada musim semi. Selain itu, jika ditinjau dari segi watak desainnya, dianjurkan bagi penata dekorasi untuk menggunakan desain yang konvensional yang biasa digunakan dalam teater yang tradisional. Karena drama ini banyak terdapat latar, disarankan bagi tata dekor untuk membuat drop dan wing set hal tersebut bertujuan agar pemain lebih mudah untuk keluar masuk, dan juga lebih cepat pula latar tempat atau waktu bisa dengan mudah berganti.

C. Waktu
Karena drama ini termasuk drama panjang yang terdiri 3 babak, maka sangat disarankan bagi pemain untuk berlatih lebih giat, agar hasilnya juga maksimal. Dan untuk waktu pementasannya bisa memakan waktu kurang lebih satu jam.

D. Penonton
Salah satu tujuan penonton menonton drama maupun teater adalah adanya kesamaan emosional antara penonton dengan pemain. Motivational forces mereka serupa> Begitu pula jika penonton menonton drama ini bisa dipastikan penonton dapat merasakan maupun mengambil bagian perasaannya pada aksi-aksi di dalam lakon. Untuk posisi penonton dapat digunakan sistem letak penggung berada di depan dan penonton menghadap lurus ke arah panggung.

E. Tata Dekor
Seksi dekorasi dalam pementasan drama ini harus memperhatikan beberapa hal diantaranya harus memperhatikan struktur settingnya. Seksi dekorasi bisa menggunakan drop dan wing yang berfungsi sebagai jalan keluar masuk aktor melewati tepi sisi panggung. Sedangkan menurut lokasi perwujudannya dekorasi pada penataan panggung ini lebih banyak menggunakan interior set yaitu dekorasi yang menggambarkan keadaan di dalam ruang tertutup (indoor). Jika ditinjau dari segi watak desainnya seksi dekorasi bisa menggunakan dekorasi yang konvensional sebab dekorasi yang dituntut bisa disesuaikan dengan latar yang sudah disepakati.



F. Tata Cahaya
Tata Cahaya di sini bertujuan untuk menerangi dan menyinari pentas dan aktor, mengingatkan efel lighting alamiah;maksudnya ialah menentukan keadaan jam, musim, cuaca dengan lighting selain itu membantu seksi dekor dalam menambah nilai warna sehingga tercapai adanya sinar dan bayangan. Untuk seksi cahaya perlu diperhatikan penataan lampu agar dapat disesuaikan dengan aspek-aspek pementasan yang lain. Yang perlu diperhatikan adalah dalam penggunaan linghting plot yang sangat penting dalam menyelenggarakan drama, sama pentingnya dengan peralatan lampunya. Linghting plot merupakan pengaturan panggung yang memperlihatkan posisi semua sinar. Untuk itu, sebelum pementasan drama harus ada paling sedikit latihan dengan lampu/sinar.

G. Tata Musik
Dalam drama ini dapat digunakan sebagai awal dan penutup adegan sebagai jembatan antara adegan yang satu dengan yang lainnya. Karena drama ini menceritakan kejadian seputar kerajaan Inggris yang juga menyelipkan musik Inggris dan Latin, maka untuk seksi musik harus memperhatikan musik tersebut.

H. Tata Bunyi Efek
Tiap-tiap efek bunyi membantu penonton lebih membayangkan apa yang terjadi di dalam lakon. Oleh karena itu, penggunaan efek bunyi ini harus sesuai dengan tujuannya. Dalam drama ini salah satu contoh bunyi efek yang diperlukan adalah suara binatang malam, seperti jangkrik karena ada latar waktu yang menunjukkan adegan malam hari.

I. Tata Pakaian
Seksi kostum selayaknya harus mengetahui bagian-bagian kostum yang bertujuan membantu penonton agar dapat mendapatkan suatu ciri atas pribadi tokoh yang diperankan selain itu untuk membantu memperlihatkan adanya hubungan peranan yang satu dengan peranan yang lain. Khusus dalam drama ini, perlu diperhatikan penggunaan kostumnya, dan kostum yang sepantasnya digunakan oleh para tokoh adalah kostum kerajaan Inggris sesuai dengan peranannya masing-masing.Dan kostum tersebut merupakan salah satu tipe kostum historis, yaitu kostum yang dikenakan karena periode-periode spesifik dalam sejarah (sejarah Gereja Suci di Negara Inggris).

J. Tata Rias
Untuk penata rias, drama ini merupakan sebuah tantangan karena menggunakan character make-up atau make-up yang berkarakter. Jadi, penata rias menjalankan fungsi pokok karena penata rias dituntut untuk mengubah wajah sesorang sabagai tokoh yang diperankan. Penata rias dapat menggunakan teknik rias bangsa, rias tokoh/watak atau rias temporal. Teknik rias bangsa karena, penata rias dituntut untu mengubah pemain yang misalnya saja asli Indonesia harus berperan sebagai seorang Inggris. Untuk rias tokoh/watak ini disesuaikan dengan tokoh serta watak yang diperankannya dalam drama tersebut, penata rias harus dapat membedakan tokoh yang satu dengan yang lain. Sedangkan untuk rias temporal, ini digunakan untuk mengubah riasan sesuai dengan waktunya, misalnya adegan Thomas More sebelum dipenjara akan berbeda riasannya setelah More dipenjara.

K. Sutradara
Sutradara dalam pementasan drama ini merupakan seseorang yang paling bertanggungjawab atas suksesnya pementasan drama. Yang pertama dilakukan seorang sutradara adalah menentukan casting atau proses penentuan pemain berdasarkan kecakapannya, hasil observasi hidup pribadinya atau berdasarkan kecocokan fisiknya. Selain itu sutradara juga tak boleh melupakan bagaimana pengerjaan tata dan teknik pentas seperti menyangkut soal tata pakaian, tata rias, dekor, atau tata rias. Yang perlu diperhatikan pula dalam pementasan drama ini, adalah bagaimana menyusun cerita, naskah dan akting si pemain. Tantangan untuk sang sutradara bisa dilihat dari pembuatan naskah drama yang masih menggunakan ejaan lama, yang kemungkinan besar akan menyulitkan pemainnya.
Selain hal-hal tersebut di atas, seorang sutradara juga harus memperhitungkan tampat pementasan, penonton dan waktu pementasannya. Seorang sutradara juga diharapkan dapat memberikan evaluasi setiap selesai berlatih sebelum melakukan pementasan.


IV. TANGGAPAN PENULIS
Secara keseluruhan drama ini sudah mencakup unsur-unsur yang lengkap, kronologis, dan memiliki tema yang jelas. Kelemahannya hanya tampak pada penggunaan ejaan bahasa lama yang mempersulit pembaca untuk cepat memahaminya. Namun walaupun begitu, di balik semua kekurangan dalam buku ini kita dapat menemukan banyak kelebihannya. Drama ini sangat cocok untuk dipentaskan, penulis yakin penonton akan ikut dalam kejadian atau peristiwa yang ada dalam drama tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Hariyanto,P. 2000. Pengantar Belajar Drama. Yogyakarta:PBSID FKIP Universitas Sanata Dharma.
Harymawan,RMA.1988. Dramaturgi.Cetakan I. Bandung:Rosda.
Stuart,Morna. 1968. Gerbang Pengchianat. Seminari Mertoyudan: Yayasan Kanisius.


*** Tulisan di atas adalah analisis drama hasil dari tugas mata kuliah Apresiasi Drama. Agak sedikit 'terpaksa' karena drama yang saya pilih begitu 'jadul'. Agak sulit membahasakannya sesuai dengan EYD. Tapi, berhubung bukunya yang tipis saya jadi menghilangkan keterpaksaan itu. Lebih cepat dianalisis kan lebih baik. Lagi pula latarnya yang bergaya epik menurut saya menjadi apik juga kalau benar-benar dipentaskan..

*bangunkan aku*

bangunkan aku nanti :

jika aku mulai mengigau tentang sakit..
jika aku mulai keringat dingin karena menanti..
jika aku mulai gelisah karena rindu..
jika aku mulai pucat karena takut..

berjagalah..
karena aku ingin bangun dari mimpi panjangku.,
kenyataan ini seperti mimpi yang kabur.. lantas hilang dan berganti cerita lain..
karena aku tau hidup ini semu,
pasti akan berganti setelah aku bangun..

bangunkan aku jika kau mulai mengkhawatirkanku..

Selasa, 14 Desember 2010

dari sajak menjadi puisi bahkan lagu

Sebuah pesan singkat sampai menjelang malam... drrrt drrttt... (bergetar)

"Mba... bisa buatke parafrase lagu ga?" begitu kira-kira isi pesan singkat itu.

Hmmm, adik pacar tiba-tiba minta dibuatkan parafrase lagu, dengan alasan mau dikumpul keesokan harinya. Sedikit kaget, tapi bagiku biasa, soalnya sebagai calon guru Bahasa Indonesia kan kaya gitu jadi tantangan... hahhaha.. (sakjane ngayem2i adek, ben ra patek'o mumet). Alhasil karena jarak yang jauuuuhhhh banget (padahal cm Jogja-Magelang), maka parafrase itu saya kirim lewat fesbuk (hhohohoo).

Ternyata, kebanyakan anak SMA/SMK belom tau betul apa itu parafrase. Mungkin, mendengar istilahnya saja tampak asing. Secara garis besar parafrase itu hasil menceritakan kembali puisi atau cerpen atau karya sastra lainnya, dengan bahasa sendiri tanpa mengubah makna yang ada di dalamnya. Ada dua macem yang saya tau, yaitu dengan menggunakan alur (bahasa sendiri) atau dengan menambahkan imbuhan saja untuk mempermudah. Ya, gini-gini juga pernah jadi guru PPL di salah satu sekolah homogen di Yogya. Hebat kan saya... (muji dikit gpp ya).

Dan ini beberapa hasil puisi dan lagu yang berhasil saya parafrasekan.. hahhahaa :]

Parafrase Lagu:
PERJALANAN
Karya: Franky dan Jane Sahilatua
Dengan Kereta Malam
ku Pulang Sendiri
Mengikuti Rasa Rindu
Pada Kampung Halamanku
Pada Ayah Yang Menunggu
Pada Ibu Yang Mengasihiku

Duduk Dihadapanku Seorang Ibu
Dengan Wajah Sendu
Sendu Kelabu
Penuh Rasa Haru Ia Menatapku
Penuh Rasa Haru Ia Menatapku
Seakan Ingin Memeluk Diriku

Ia Lalu Bercerita Tentang
Anak Gadisnya Yang Telah Tiada
Karena Sakit dan Tak Terobati
Yang Wajahnya Mirip Denganku

-------------------------------------------------------------------------------------------------

  • Parafrase (1)
            Malam itu, aku bermaksud pulang dengan naik kereta terakhir. Ada perasaan yang bercampur di dalam dadaku, rasa rindu yang terdalam akan kampung halamanku dan kehangatan pelukan ayah yang sudah menungguku, dan senyum manis ibuku dengan sejuta kasih sayang yang siap mencium mesra keningku.
            Tak jauh dari tempatku duduk, seorang ibu paruh baya, duduk dengan pandangan sendu. Bagai awan biru yang lantas tertutup gumpalan awan hitam yang menjadikannya kelabu. Tatapannya yang haru, membuatku salah tingkah. Aku pun larut kedalam keharuannya, entah apa yang membuatnya begitu sendu. Seolah ibu paruh baya itu ingin mendekap tubuhku erat. Namun, berhasil ia mengendalikan emosinya.
            Tiba-tiba, tanpa diberi aba-aba, ibu paruh baya tersebut bercerita. Tatapannya langsung jauh melayang mengingat anak gadisnya yang telah tiada. Sambil sesekali melihat ke arahku, ibu paruh baya tersebut kembali bercerita, tentang sakit anak gadisnya yang tidak terobati. Dan kini aku tau alasannya menatapku sendu dan antusias menceritakan anak gadisnya itu, sambil tersenyum getir ibu paruh bayu tersebut berkata bahwa wajah anak gadisnya mirip denganku.

------------------------------------------------------------------------------------------------------

  • Parafrase (2)
Malam itu, seorang gadis bermaksud pulang dengan naik kereta terakhir. Ada perasaan yang bercampur di dalam dadanya, rasa rindu yang terdalam akan kampung halamannya dan kehangatan pelukan ayah yang sudah menunggu, dan senyum manis ibu dengan sejuta kasih sayang yang siap mencium mesra keningnya.
<span> </span>Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang ibu paruh baya, duduk dengan pandangan sendu. Bagai awan biru yang lantas tertutup gumpalan awan hitam yang menjadikannya kelabu. Tatapannya yang haru, membuat gadis itu salah tingkah. Gadis itu pun larut kedalam keharuannya, entah apa yang membuatnya begitu sendu. Seolah ibu paruh baya itu ingin mendekap tubuhnya erat. Namun, berhasil ia mengendalikan emosinya.
<span> </span>Tiba-tiba, tanpa diberi aba-aba, ibu paruh baya tersebut bercerita. Tatapannya langsung jauh melayang mengingat anak gadisnya yang telah tiada. Sambil sesekali melihat ke arah gadis itu, ibu paruh baya tersebut kembali bercerita, tentang sakit anak gadisnya yang tidak terobati. Dan kini gadis itu tau alasannya menatapnya begitu sendu dan antusias menceritakan anak gadisnya itu, sambil tersenyum getir ibu paruh bayu tersebut berkata bahwa wajah anak gadisnya mirip dengan gadis yang duduk dihadapannya.


NB: Keterangan *Parafrase 1: adl orang pertama (penulis menceritakan dirinya)
<span> </span>  *Parafrase 2: kt ganti org k3 (penulis menceritakan orang lain; seorang gadis)



Gadis Kecil dan Lima Permen
oleh: herlinda mipur


buru-buru ku pacu sepedaku
menuju sebuah toko buku
ku rogoh kocek seribu
untuk membayar parkir sepedaku

buru-buru ku masuk ke toko buku
yang di jaga seorang ibu
dengan muka lusuh dan penuh peluh
yang tampak kuyu lagi lugu

senyumnya hangat menyambut kedatanganku
aku pun mengangguk dan tersipu


mata ini terus mencari
buku kimia yang kunanti
namun mata ini lalu beralih
kepada seorang gadis kecil seorang diri

tangan kanannya memegang buku gambar
tangan kirinya memegang lima buah permen
wajahnya tampak berbinar
kemudian menuju kasir dengan membawa permen

diletakkannya buku gambar
diletakkannya pula beberapa lembar uang
dan lima buah permen di tangan

ibu lugu itu tampak kebingungan
melihat si gadis kecil membawa permen di tangan
dengan tersenyum manis
si gadis kecil membalas
dengan ucapan, "yang lima ratus permen ya bu..."


* Parafrase:
(Siang itu) buru-buru ku pacu sepedaku
(kemudian) menuju sebuah toko buku (di jalan sana)
ku (me) rogoh kocek seribu (rupiah)
untuk membayar parkir sepedaku (itu)

(Siang itu) buru-buru (pula) ku masuk ke toko buku (itu)
yang di jaga (oleh) seorang ibu
dengan muka lusuh dan (muka) penuh peluh
yang (mukanya) tampak kuyu lagi lugu

senyumnya (yang) hangat menyambut kedatanganku
aku pun mengangguk dan tersipu (malu)

mata ini terus mencari (cari)
buku kimia yang (telah) kunanti
namun mata ini lalu beralih (lagi)
kepada seorang gadis kecil (yang berdiri) seorang diri

tangan kanannya (,) memegang buku (ber)gambar
tangan kirinya(,) memegang lima buah permen
wajahnya tampak berbinar (binar)
kemudian menuju kasir dengan membawa permen (di tangan)

diletakkannya buku (ber) gambar itu
diletakkannya pula beberapa lembar uang (ribuan)
dan lima buah permen di tangan(nya)

(wajah) ibu lugu itu tampak kebingungan
melihat si gadis kecil (itu) membawa permen di tangan (nya)
dengan (wajah yang) tersenyum manis
si gadis kecil (itu) membalas (nya)
dengan (meng) ucapan (kan), "yang lima ratus permen ya bu..."


* Parafrase utuhnya:

Siang itu, seorang pelajar SMA terburu-buru mengayuh sepedanya menuju sebuah toko buku. Dengan uang seribu, ia membayar parkir sepedanya terlebih dahulu. Buru-buru pula, pelajar itu masuk ke toko buku dan di sambut senyum hangat dari seorang ibu penjaga toko. Wajah ibu itu tampak lesu, dan kelelahan. Senyumnya yang ramah itu membuat pelajar itu sungkan dan tersipu malu.

Di dalam toko buku itu, pelajar itu mencari buku pelajaran Kimia. Dia berjalan menyusur lorong buku dan sibuk mencari buku itu. Namun, matanya tiba-tiba terhenti ketika melihat seorang gadis kecil berdiri di pojok lorong. Tangan kanannya memegang buku gambar, sedangkan tangan kirinya memegang lima buah permen. Raut wajahnya tampak berbinar, ada rasa puas dalam dirinya. Kemudian, gadis itu bergegas menuju ke kasir.

Gadis kecil itu meletakkan buku gambar, beberapa lembar uang ribuan dan lima buah permen. Ibu penjaga toko tampak kebingungan menerima uang dari gadis itu. Sambil tersenyum manis, gadis itu lantas berucap, " yang lima ratus permen ya bu...", katanya sambil berlalu membawa buku gambarnya.


Nb: kalau d liat... sebenernya ni adalah puisi sindiran... biasanya... kalau pemilik toko nggak ada kembalian receh, pasti kita d beri permen... gadis itu pun mengira, lima buah permen bisa menggantikan kekurangan uang lima ratus... 

.............................................................................................................................................................

Kira-kira begitulah yang namanya parafrase.. jika ada tambahan bisa langsung komentar ya.. hahaaha...
nah ini ada satu lagi bahasan menyoal puisi. Saya menganalisis sebuah puisi karena mengerjakan mata kuliah kritik sastra. Agak rumit sebenarnya, karena sastra biasanya penafsirannya banyak. Ini analisisnya....


MENGANALISIS PUISI
DOA SEBELUM MANDI
Karya Joko Pinurbo


Tuhan, saya takut mandi
Saya takut dilucuti
Saya takut pada tubuh saya sendiri

Kalau saya buka tubuh saya nanti,
Mayat yang saya sembunyikan
Akan bangun dan berkeliaran

Saya ini orang miskin yang celaka.
Hidup saya sudah telanjang.
Kerja saya mancari pekerjaan.

Tubuh saya sebdiri dipinjam orang
untuk menculuk dan membinasakan korban.
Mereka bisa dengan mudah dihilangkan
tapi di tubuh saya mereka tak dapat dilenyapkan.

Tuhan, mandikanlah saya
agar saudara kembar saya
bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya.



Seperti yang kita ketahui dalam menilai sebuah karya sastra haruslah dapat dilihat segi keindahan, keaslian cipta, memiliki pengalaman jiwa pengarangnya serta memiliki nilai seni. Pada puisi karya Joko Pinurbo ini, penulis akan mencoba menganalisisnya dari lapis-lapis norma yang ada, menurut analisis Roman Ingarden yang terdiri dari lapis bunyi (suara), lapis arti, lapis obyek, lapis “dunia”, dan lapis metafisika.

  1. LAPIS BUNYI

Pada bait pertama, penyair mempergunakan pola bunyi i dengan pola sajaknya : mandi – dilucuti – sendiri, yang kesemuanya merupakan ekspresi rasa takut, gugup, dan gelisah saat menghadap Tuhannya. Pada bait kedua, pola bunyi i masih tampak di sana, yang menggambarkan keragu-raguan. Setelah itu diikuti dengan pola bunyi an yang mengekspresikan kegelisahan.
Memasuki bait ketiga, penyair menggunakan pola bunyi dengan dominasi bunyi an yang menggambarkan kesedihan. Selain itu, untuk memperkuat kesedihan pola bunyi ang menjadi sebuah variasi di dalamnya. Sebagai puncaknya, di bait terakhir, pola bunyi yang digunakan adalah pola bunyi a dan nya. Di sini menunjukkan suasana kesedihan dan kepasrahan makin terasa.


  1. LAPIS ARTI

Doa Sebelum Mandi merupakan salah satu karya Joko Pinurbo yang sama seperti karya-karya yang lain. Dalam puisi ini tubuh manusia menjadi sorotan utama dengan maksud agar tubuh manusia lebih sebagai message bukan sekedar medium. Pada bait pertama baris pertama dikatakan bahwa: ” Tuhan saya takut mandi “, kalimat ini menunjukkan adanya ketakutan seseorang kepada Tuhannya, dia takut dimandikan. Baris kedua disebutkan: “ Saya takut dilucuti” maksudnya adalah dia takut tubuhnya ditelanjangi. Dan di baris terakhir : “ Saya takut pada tubuh saya sendiri”, dia takut pada jasadnya sendiri. Tubuh di sini diartikan sebagai jasadnya.
Bait kedua: “Kalau saya buka tubuh saya nanti”, berarti jika dia mebuka jasadnya nanti, mayat yang dia sembunyikan akan terus menghantuinya. Kalimat tersebut begitu mengekspresikan perasaan si saya yang penuh dengan kegelisahan dan ketakutan yang teramat sangat yang bercampur menjadi satu akibat perbuatannya.
Di bait ketiga ini dapat kita lihat, si saya mulai membuka diri dan mulai mengakui perbuatan apa yang sebenarnya dia lakukan. Di kalimat pertama, “ Saya ini orang yang miskin dan celaka”, si saya ternyata seorang yang miskin, di situ sangat jelas bagaimana latar belakangnya. Pada kalimat kedua disebutkan “Hidup saya sehari-hari sudah telanjang “, yang dimaksudkan adalah bahwa dalam kehidupan sehari-harinyapun dia tidak memiliki apa-apa untuk hidup.
“ Kerja saya mencari pekerjaan”, dia adalah seorang pengangguran dan mencoba untuk mencari pekerjaan apapun itu hanya untuk hidup dalam sehari. Di baris keempat dan kelima sangat erat hubungannya karena menunjukkan sisi lain dari si saya. ” Tubuh saya sering dipinjam orang”, tubuh di sini diartikan sebagai dirinya sendiri yang sering di bayar orang. Baris selanjutnya berbunyi ”Untuk menculik dan membinasakan orang”, pada baris ini jelas terlihat bahwa sisi lain si saya adalah seorang pembunuh bayaran, dia dipinjam untuk menculik dan membinasakan orang.
Pada baris selanjutnya disebutkan, ” Mereka bisa dengan mudah dihilangkan”, mereka yang dimaksudkan adalah korban-korban si saya yang bisa dengan mudah dia bunuh. ” Tapi di tubuh saya, mereka tak dapat dilenyapkan ”, tubuh disini bukan lagi diartikan sebagai tubuh yang sebenarnya, melainkan raganya, karena si saya telah meninggal, dan karena telah meninggal korban-korbannya sudah tidak bisa lagi dimusnahkan.
Pada bait terakhir, menggambarkan sebuah penyesalan dan ketakutan akan Tuhan. Kita dapat melihatnya pada baris pertama ”Tuhan, mandikanlah saya ”, mandi di sini bukan lagi diartikan sebagai mandi atau dimandikan, namun diartikan sebagai permohonan ampun, meminta dosa-dosanya dibersihkan. ”Agar saudara kembar saya”, saudara kembar diartikan sebagai jasadnya, dia ( rohnya ) minta agar jasadnya, ”bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya”. Pada kalimat terakhir ini dijelaskan bahwa si saya membunuh dirinya sendiri dan ingin meminta kedamaian dan ketenangan agar jasad dan rohnya bisa diampuni oleh Tuhan.


3. LAPIS OBJEK
Pada lapis ini, Joko Pinurbo melukiskan objek-objek yang dikemukakan : latar, pelaku, dan dunia pengarang. Cerita atau dunia yang diciptakan oleh daya imajinasi pengarang adalah sebagai berikut.
Saat si saya telah meninggal dia masih belum bertemu dengan Tuhannya. Dia masih berada di antara dunia nyata dan dunia akhirat. Raganya belum bersatu dengan Tuhan. Si saya berdoa kepada Tuhannya dengan sepenuh hati, karena dia begitu takut dengan Tuhan. Ketika berdoa, dia mengakui semua kesalahannya selama dia hidup di dunia. Perasaan takut, gelisah, dan penyesalan dia tunjukkan, dia ingin dosa-dosanya diampuni, dan bisa memperoleh kedamaian dan ketenangan.
Di dalam dunia pengarang itu tampak bahwa pelakunya adalah si saya, seorang pembunuh bayaran, latar terjadinya peristiwa di antara / di tengah-tengah dunia nyata dan dunia akhirat. Karena dia belum bertemu dengan Tuhan, dia masih mencari kedamaian. Objek-objek yang dikemukakan adalah : tubuh, mayat, pekerjaan, korban, dan saudara kembar.


4. LAPIS “DUNIA”
Lapis “dunia” adalah lapis yang dipandang dari sudut pandang tertentu, yang implisit adalah sebagai berikut. Dipandang dari objek-objek yang dikemukakan, puisi ini tidak melukiskan si saya menganut agama apa, namun pengarang melukiskan si saya adalah seorang yang beriman, dia percaya bahwa Tuhan itu ada, dia bukan penganut Atheisme. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kalimat, “Tuhan saya takut mandi”. Si saya masih memiliki rasa takut kepada Tuhan. Cerita ini terjadi di antara dua alam yang berbeda. Si saya yang sudah meninggal namun belum bertemu dengan Tuhannya, dia masih takut menghadap Tuhan dan ingin memohon ampun atas dosa-dosa yang telah dia perbuat selama hidupnya.


5. LAPIS METAFISIKA
Lapis ini berupa pandangan hidup/filsafat yang terdapat di dalamnya. Di awal tadi telah disebutkan bahwa si saya tidak diketahui manganut agama apa, namun begitu dia juga bukan penganut Atheisme yaitu paham yang tidak mengakui adanya Tuhan, si saya masih takut pada Tuhan, ia termasuk penganut filsafat eksistensialisme, ternyata dari ucapannya:

Tuhan, saya takut mandi
Saya takut dilucuti
Saya, takut pada tubuh saya sendiri
Filsafat eksistensialisme itu sendiri merupakan paham akan pertanggungjawaban kepada perbuatannya sendiri kepada Tuhan.
Dalam sajak ini Joko Pinurbo, dapat membuka kekacauan batin si saya dalam menghadapi perasaan kehidupan yang begitu kompleks. Ia masih mengakui adanya Tuhan, ia masih takut dengan Tuhan, disamping itu ia seorang ekstensialisme. Ia ingin terus menikmati hidup, namun profesinya sebagai pembunuh bayaran bertentangan dengan moral dan agama sehingga menimbulkan pertentangan-pertentangan batin, konflik-konflik kejiwaan. Ia tidak dapat mengambil keputusan tentang bagaimana memecahkan persoalannya. Ia tidak ingin terus menerus menjadi pembunuh bayaran. Jalan satu-satunya ia mengemukakan kekacauan jiwanya dengan membunuh dirinya sendiri. Hal ini tampak pada bait terakhir :

Tuhan, mandikanlah saya
agar saudara kembar saya
bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya.



Di atas penulis sudah mencoba menganalisis puisi Doa Sebelum Mandi yang telah memenuhi kriteria penilaian menurut lapis-lapis norma Roman Ingarden. Kita sudah mengetahui dari uraian di atas bahwa norma-norma itu sangat erat berjalinan : lapis norma yang di atas menimbulkan lapis norma yang di bawahnya.
Dalam bukunya Poetica, J.Elema melihat hubungan antara pengalaman jiwa yang diungkapkan dengan kata. Dengan dasar itu J.Elema mengemukakan dalil-dalil seni sastra, yang nantinya akan dianalisis oleh penulis lewat puisi Doa Sebelum Mandi. Mari kita lihat satu persatu apakah puisi Joko Pinurbo ini memenuhi dalil-dalil seni sastra J.Elema.
Berdasarkan analisis yang penulis buat di depan, ternyata dapatlah dilihat bahwa dalam puisi Joko Pinurbo tersebar pengalaman jiwa penyair, berupa konflik-konflik kejiwaan, kesadaran, eksistensinya dan moralnya. Ia seorang yang miskin dan celaka, keadaan ini membuatnya harus berusaha untuk mencari pekerjaan. Akan tetapi, dalam perkembangannya, dia menjadi seorang pembunuh bayaran. Kesadaran moralnya, tidak ingin dia terus menerus menjadi pembunuh bayaran. Kesadaran ini membuat batin jiwanya bergejolak sehingga ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Saat meninggalpun si saya masih mengalami konflik kejiwaan. Ia takut menghadap Tuhan, ia mengakui dosa-dosanya selama dia hidup dan memohon Tuhan mengampuninya. Semua pengalaman itu ternyata/terlihat dalam sajak-sajak tersebut. Jadi, ini berarti pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat terjelma ke dalam kata. Jadi terpenuhilah dalil pertama J.Elema tersebut.
Penulis akan mencoba meninjau apakah keutuhan pengalaman jiwa dan kelengkapan serta keluasannya dapat terlihat di dalamnya.

  1. niveau anorganis
Meliputi bunyi, kata, kombinasi kata, kalimat, gaya bahasa, baris, sajak, dan keseluruhan bentuk sajaknya. Semuanya itu menurut analisis di depan dalam lapis bunyi dan arti.
Dari lapis bunyi, penyair mempergunakan pola bunyi dan pola sajak. Pada bait pertama, pola bunyi i dapat mewakili ekspresi maksud penyair, yang kesemuanya menggambarkan suasana kegelisahan, ketakutan, yang dikombinasikan dengan pola bunyi an yang menunjukkan suasana kegelisahan. Jadi, penggunaan bunyi ini berhasil, bunyi ini mempunyai nilai seni karena dapat mengekspresikan maksud penyair. Demikian pula pada bait kedua dan ketiga di dominan bunyi an dengan kombinasi bunyi ang yang mengekspresikan kejujuran si saya yang dilukiskan dalam menjalani hidupnya. Jadi, bunyi-bunyi tersebut mempunyai nilai seni. Di tambah lagi variasi bunyi yang tidak monotone membuat pembaca cepat memahami maksud penyair.
Dari kombinasi kata yang digunakan, penyair lebih banyak menggunakan kata-kata yang konotatif. Kata-kata tersebut dapat kita lihat dalam bait ketiga baris terakhir : tapi di tubuh saya mereka tak dapat dilenyapkan. Tubuh dalam arti sebenarnya adalah badan seluruhnya, namun pada kalimat tadi tubuh diartikan sebagai raga, badannya yang telah mati yang tidak bisa lagi melenyapkan mereka, si korban.
Pada bait terakhir, juga dapat kita temukan kata-kata konotatif yang lain. Seperti, Tuhan mandikanlah saya, mandi sudah tidak diartikan sebagai membersihkan tubuh namun diartikan sebagai permohonan ampun. Di baris selanjutnya juga dapat kita temukan, agar saudara kembar saya, saudara kembar diartikan sebagai jasadnya.
Pada puisi ini tingkat anorganis yang lain dapat dilihat dari terdapatnya paralelisme yang menunjukkan keyakinan, mengintensifkan adanya kengerian, seperti yang tergambar dalam bait pertama :

Tuhan, saya takut mandi
Saya takut dilucuti
Saya takut pada tubuh saya sendiri.

Bila kita tinjau kembali uraian di atas, dari bunyi sampai ke pembagian baris sajak, dan variasi yang dilaksanakan penyair, maka ternyatalah bahwa penyair dapat mengekspresikan pengalaman jiwanya kembali dengan berhasil. Di sini teranglah bahwa sajak itu memenuhi tingkat pengalaman jiwa yang pertama, tingkat anorganis, yang harus ada dalam sajak untuk memberikan gambaran konkret atau untuk memberi bentuk dan wujud kepada pengalaman-pengalaman jiwa yang lain yang hendak dibeberkan itu. Dengan terpancarnya pengalaman jiwa tingkat pertama itu, maka sajak tersebut dapat menunjukkan sebagian nilai seninya. Maka, dari sudut ini saja sajak ini sudah menjadi puitis dan bernilai seni.


  1. niveau vegetatif
Meliputi suasana sajak (mood) yang memeberikan keharuan kepada sajak itu.
Bila dilihat uraian di atas, ternyatalah bahwa pola sajak, pola bunyi yang dipergunakan oleh penyair mempunyai daya evokatif yang besar, dapat menimbulkan rasa kengerian, kekejaman, dan ketakutan serta kegelisahan. Perasaan gundah dan duka serta kecemasan disebabkan oleh pertentangan batin, sedangkan perasaan ketakutan disebabkan oleh pertemuan antara manusia dengan Tuhan. Di samping itu, ada suasana renungan kepada hakikat kehidupan. Suasana kegelisahan yang hebat itu menguasai seluruh sajak dari awal hingga akhir, dibangkitkan lagi oleh baris sajak yang pendek-pendek dengan sajak akhir yang didominasi bunyi nya pada baris terakhir. Maka ternyatalah pengalaman tingkat kedua ini dapat terjelma ke dalam kata.


3. niveau animal
Meliputi nafsu-nafsu hidup, tanggapan-tanggapan inderaan yang konkret dan nafsu-nafsu jasmaniah. Dalam sajak yang penulis analisis, terpancar dalam kata-kata, ungkapan-ungkapan yang menimbulkan penginderaan yang jelas dan rangsangan kepada perasaan naluri jasmaniah.
Seperti dalam bait pertama : ”takut”, ”mandi”, dan ”tubuh” merupakan gambaran yang konkret dan rangsangan keinderaan. Dalam bait kedua : ”mayat yang saya sembunyikan akan bangun dan berkeliaran”, kalimat ini memancarkan perasaan / ketakutan manusia yang wajar. Kata ”bangun” yang disambung dengan kata ”berkeliaran” akan merangsang penginderaan dan naluri kengerian yang menggetarkan jiwa.
Dalam bait ketiga: ”untuk menculik dan membinasakan orang ”. Baris ini dapat merangsang tanggapan penginderaan kita tentang naluri kekejaman si saya. Dalam bait terakhir : ”bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya”, merupakan wujud penginderaan manusia yang merangsang naluri penyesalan. Semua kata tersebut merupakan penjelmaan pengalaman jiwa tingkat animal. Di samping itu, juga segala ungkapan yang bermaksud mengkonkretkan tanggapan penginderaan pengalaman termasuk ke dalam tingkatan ketiga ini. Secara keseluruhan pengalaman ini adalah kesadaran penyair kepada eksistensinya bahwa sebagai manusia ia ingin dapat merasakan sesuatu dengan secara konkret dapat diindera, ingin dapat merasakan atau memenuhi segala nafsu-nafsu ketenangan dan kedamaian yang ingin dia rasakan. Dalam sajak ini keinginan itu terjelma dalam bentuk keinginan menikmati kedamaian dan ketenangan dengan cara memohon kepada Tuhannya untuk mengampuni dosa-dosanya yang telah diperbuatnya.


4. niveau human
Merupakan tingkatan yang lebih tinggi, dalam sajak ini tampak dalam kesadaran si saya bahwa ia sadar telah menjadi seorang pembunuh bayaran hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, serta ia merasa berdosa atas perbuatannya itu. Kesadaran itu menyebabkan ia merasa tidak pantas menghadap Tuhan, dia takut mandi, dia takut Tuhan akan mengadilinya, terpancar dalam baris-baris berikut.

Tuhan, saya takut mandi
Saya takut dilucuti
Saya takut pada tubuh saya sendiri...
( bait pertama )

Pertentangan batin penyair terbeber juga dalam bait ketiga :
Saya ini orang miskin dan celaka
Hidup saya sehari-hari sudah telanjang
Juga terpancar pada kalimat berikutnya :

Kerja saya mencari pekerjaan
Tubuh saya sering dipinjam orang
Untuk menculik dan membinasakan orang

Begitulah pertentangan batin si saya yang berupa kesadaran eksistensinya, kesadaran moral dan kesadaran keimanannya tampak begitu tragis dan dramatis dibeberkan oleh penyair dalam sajaknya.
Di samping itu, sublimasi yang dilaksanakan penyair itu adalah keinginan penyair untuk memberi pengalaman jiwa yang lebih tinggi dari pengalaman tingkat animal, yang berupa realitas kasar menjadi halus dan sopan, seperti : tubuh saya sering dipinjam orang, mandikanlah saya, saudara kembar. Dengan sublimasi ini suasana kekejaman, penyesalan dan ketakutan menjadi diperhalus dengan disertai sedikit renungan yang sifatnya lebih nyata.

5. niveau religius, filosofis dan metafisik
Puisi Doa Sebelum Mandi ini, sudah memberi persediaan renungan yang bersifat ketuhanan walaupun penyair tidak menyebutkan si saya beragama apa, namun kita tahu bahwa tokoh tersebut merupakan seorang yang beriman. Kata Tuhan yang digunakan penyair telah mewakili gambaran isi puisi bahwa walaupun si saya tidak diketahui agamanya, namun Tuhan terlibat di dalam doanya ini membuktikan bahwa dia masih percaya kepada Tuhan.
Dalam sajak ini si saya menampakkan diri sebagai orang miskin, seorang eksistensialisme dan seorang yang beriman dan bukan berpaham Atheisme. Sebagai orang beriman, ia menyadari perbuatan-perbuatan yang dilakukan pada hakikatnya berdosa, tetapi ia seorang manusia biasa yang tidak lepas dari seluruh keberadaannya hingga kesadaran ini memberikan kesimpulan padanya bahwa pada hakikatnya dia takut pada Tuhan namun ingin mendapatkan ketenangan dan kedamaian.
Manusia sebagai individu mempunyai persoalan-persoalan sehingga harus diselesaikan sendiri-sendiri, sampai pertemuan dengan Tuhanpun harus dilakukan sendiri, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tidak mungkin selesai persoalannya dengan Tuhan bila bersama berdoa dengan kumpulan umat. Mempertanggungjawabkan perbuatan pribadi ini salah satu aspek eksistensialisme. Jadi teranglah dalam sajak ini penyair menampilkan pengalaman jiwanya sebagai orang beriman dan seorang penganut filsafat eksistensialisme. Renungan pengalaman jiwa yang bersifat religius dan kefilsafatan ini dapat membawa kesempurnaan manusia hingga dapat memperhalus taraf hidupnya.


KESIMPULAN

Begitulah, bila uraian kita tinjau kembali, puisi Doa Sebelum Mandi ini dapat memenuhi kriteria yang diajukan J. Elema yang berupa dalil-dalil seni sastranya itu. Dengan demikian sajak ini mempunyai nilai seni yang tinggi.
Bila nilai seni ini dinyatakan dengan definisi Benedetto Croce : sajak ini mengandung nilai keindahan karena cara pembeberannya berhasil baik sebagai sifat seni yang pokok.
Bila dinyatakan dengan pengertian keindahan menurut Slametmuljana, sajak ini indah karena cara pembeberannya berhasil baik sehingga pembaca dapat ikut mengalami ketakutan, kengerian, kegelisahan, kekejaman serta keharuannya dalam menghadapi persoalan-persoalan yang dibeberkan.
Kalau dinyatakan dengan kriteria estetik: sajak ini bernilai estetik di samping itu mengandung kebesaran karena dapat menampilkan pengalaman jiwa yang besar, yang dapat dijelmakan ke dalam sajak secara estetik. Maka sajak ini memenuhi fungsi hakikat seni sastra yang dikemukakan oleh Horace : dulce et utile, menyenangkan dan berguna. Menyenangkan karena cara pembeberannya menarik dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia dalam hidupnya. Berguna karena puisi ini dapat memberikan nilai sosial, moral dan religius bagi pembacanya.
Mengenai kriteria keasliannya, ternyata bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia, ungkapan-ungkapan sajak ini asli belum pernah ada sebelumnya. Karena puisi ini dan puisi-puisi lainnya karya Joko Pinurbo dapat dipandang sebagai suatu seismograf kebudayaan, karena dia menyingkapkan dan mengingatkan kembali pentingnya badan dalam hidup, dalam kebudayaan dan dalam puisi Indonesia. Selain itu jika ditinjau dari pembagian baris sajak dan baitnya, terdiri bai-bait yang berisi tiga baris pendek dan salah satu bait menggunakan baris yang cukup panjang yaitu tujuh baris.
Di samping itu, ide untuk mengambil unsur-unsur puisi lama, seperti penggunaan baris sajak, persamaan bunyi ( sajak ) yang disesuaikan dengan maksud dan isi dan penggunaan paralelisme adalah ide Joko Pinurbo yang baru. Begitu juga seperti Sitor, Joko Pinurbo juga memasukkan faham eksistensialisme secara tegas. Begitu juga ide untuk menampilkan persoalan serta konflik batin yang kompleks, ini adalah asli, yaitu persoalan-persoalan manusia yang mendapat bermacam-macam pengaruh dari luar : miskin, takut akan Tuhan, menjadi pembunuh bayaran, eksistensialisme, dan sebagainya. Begitu juga, gaya-gaya yang dipergunakan, kombinasi kata dan kalimat, khususnya penggunaan tubuh / badan sebagai ciri khas dari puisi Joko Pinurbo yang tidak ada persamaannya dengan gaya-gaya yang pernah dipergunakan oleh penyair-penyair lain, seperti yang berikut ini :

+ Saya takut pada tubuh saya sendiri
+ Kalau saya buka tubuh saya nanti
+ Tubuh saya sering dipinjam orang
+ Tapi di tubuh saya mereka tidak bisa dilenyapkan
+ Bisa damai dan tenang di tubuh pembununhya.
Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa puisi Doa Sebelum Mandi karya Joko Pinurbo ini memenuhi kriteria keaslian, banyak mengandung daya kreatif, menunjukkan daya cipta yang besar, dan dapat ditemukan pengalaman jiwa pengarangnya yang tinggi. Dalam puisi ini juga dapat dilihat bahwa puisi ini telah memenuhi analisis Roman Ingarden dan J.Elema. Hendaknya kita ingat bahwa arti keaslian adalah bukan menjiplak : karya sastra itu mengandung daya cipta karena kebaruannya, belum pernah ada sebelumnya.


DAFTAR PUSTAKA


Pinurbo, Joko. 2001. Kumpulan Puisi : Di Bawah Kibaran Sarung. Magelang : Indonesiatera.
Pradopo, Rachmat Djoko.1994. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.