Ini soal selera. Setiap orang
diciptakan memiliki selera masing-masing. Contoh kecil soal selera makan, ada
yang doyan pedas, ada yang doyan manis, atau sekedar asin gurih. Demikian juga
menanggapi tentang hidup dan cara kamu menjalaninya. Tergantung seleramu,
tergantung kesukaanmu. Ini hidupku, dan ini seleraku! Tulisan ini sebenernya
karena teringat bahwa sudah lama saya jauh dari orang tua saya. Itu semua
karena keputusan saya kos, dibalik cerita itu semua banyak hal menarik yang
ingin saya share’kan. Mungkin ini pula yang dirasakan banyak anak-anak kuliah
yang memiliki selera masing-masing dalam menjalani perannya sebagai mahasiswa
dan mahasiswi. Seru? Jelas! Menarik? Pasti. Lain cerita, jika memang anak
kuliah tapi masih tinggal seatap dengan orang tua, mungkin masih menjadi anak
rumahan, hingga sekarang? Ah, bisa jadi.
***
Saya doyan banget main,
nongkrong, berlama-lama di luar, ketimbang duduk diam di rumah hanya nonton TV
dan tidur. Memang dasarnya supel, jadi kalau menemukan tempat baru dan
kebetulan ada orang-orang seru membuat saya bertambah kawan. Saya mau cerita
nih, gimana serunya jadi saya yang dulu, yang kerjaannya main terus, tapi
bersyukur, karena ternyata kesempatan itu baru terasa nikmatnya setelah saya
merasa tidak mungkin lagi mengulangi masa-masa jaya dulu. Cieeehh jayaaa!
Masa
Putih Biru
Saya
gak akan cerita detil ketika saya sekolah saat SMP, hanya di kelas 3 ada satu
kebiasaan seru yang ujung-ujungnya makan enak. Apa itu? Di kelas saya dulu,
kami punya yang namanya arisan. Satu kelas itu sekitar 30an anak kalau nggak
salah (lupa), iuran Rp 1.000 rupiah setiap hari. Di minggu kedua ketika arisan
dikocok, kalau yang menang itu biasanya traktir-traktir makan di malam minggu.
Nah, temen-temen saya dari kelas lain yang g ikut arisan juga kedapetan makan
gratis kalau kami dapat arisan. Setiap pulang misa sore hari Sabtu, kami selalu
berkumpul di dekat gereja, tepatnya di sebelah warung Burjo milik si AA (sampe
sekarang g tau namanya -_-). Sebelum
ritual makan-makan, biasanya kami ngumpul sampai nunggu teman-teman kami
komplit (maksudnya sih biar boncengannya pas, hehehe). Kadang kalau kurang pas,
beberapa teman bawa temannya untuk ikut bergabung, atau sepupunya yang cakep,
atau bawa motor dua, pokoknya sampai motornya ada 10 (kalau berboncengan
berarti ada sekitar 20an). Kalau sudah lengkap, kami melakukan perjalanan
mengitari kota kecil kami, mencari jalan yang belum pernah dijelajahi, atau
naik ke Waduk Sempor. Setelah puas ngabisin bensin, kami mencari tempat makan,
yang murah meriah (kadang ya mahal—kalau yang bayarin kebetulan dari anak yang
mampu, :p ). Kebiasaan bermalam minggu ini kurang lebih sampai SMA awal, karena
di masa SMA kami ada yang berbeda sekolah, ada yang di De Britto, ada yang di
negeri, ada juga yang masih cinta di Pius (seperti saya, hehehe). Jarangnya
kami berkumpul juga karena beberapa di antara kami sudah memiliki pasangan,
jadi intensitas bermalam minggu jadi.... yah, you know lah... Saya paling malam
pulang ke rumah di malam minggu itu jam 9, kalau sudah lewat dari jam 9, babe,
enyak, embak saya udah krang kring krang kring hape saya. Bahkan mau dijemput
di lokasi nongkrong. Kadang pernah kelupaan, karena waktu itu masa-masa Piala
Dunia, dan pas banget yang main Jerman, saya sedang seru-serunya nonton bareng
dengan teman-teman di rumah teman saya, dan... saya dijemput -_- . Kegiatan
bermalam minggu ini ternyata menular ke adik-adik kelas kami di beberapa
generasi. Mereka juga ikutan nongkrong, ngabisin bensin juga. Jadi kadang kalau
di jalan sempitnya Gombong udah kaya arak-arakan motor dengan kecepatan minim
dan suara cekakak cekikik ala anak alay.
Masa Putih Abu-abu
Masa ini sudah berbeda, seperti
yang tadi tertulis di atas, kebiasaan bermalam minggu ngabisin bensin mulai
sedikit ditinggalkan karena beberapa teman sudah punya kekasih, termasuk saya.
Saya mulai berpacaran di bangku kelas 2 SMA. Pacar saya lebih muda setahun,
adik kelas saya yang imut dan berlesung pipit (#ngek). Kami hanya berjalan
sekitar 2 tahun, karena jarak membuat saya curigaan dan kurang percaya. Di
matanya, saya itu wanita yang memiliki selera yang tinggi (entah, ya, selera
dalam kacamata seperti apa), tapi menurutnya karena saya banyak teman dan mudah
bergaul membuat dia was-was, apalagi saya sudah berpikir selangkah lebih dewasa
daripada cara berpikirnya yang masih ingin senang-senang. Masa putih abu-abu,
selain karena faktor pacar, kegiatan menjadi anak band juga sempat saya jalani.
Babe saya sangat suka kalau saya diajak teman-teman saya ngeband, karena babe
saya suka musik. Saya nggak punya band, kadang saya cuma ngebantu jadi featuring aja kalau lagi ada acara
reunian sekolah, atau lomba ngeband. Tapi karena itu malah ikut-ikut
diwawancarai radio, dapet duit (walau dapetnya duit sisa -_-), jadi banyak
fansnya (Eh, mbake sing duet karo koe jenenge sapa?). Nah, kalau di hari Minggu
ada festival band, pasti ada saya itu, entah yang nyanyi, atau Cuma nonton aja.
Masa
Anak Kuliah
Jadi
anak kuliah di Jogja itu seperti mimpi. Pasalnya, awalnya nyak saya itu nggak
ngebolehin saya kuliah di Universitas karena biaya yang mahal. Kemudian saya
sedikit protes, kakak saya saja dikuliahin di Jogja, masa saya enggak? (biasa
anak frontal). Kemudian di masa-masa caturwulan II (dulu jamannya caturwulan
belum semester), brosur-brosur kampus ternama mulai nangkring di sekolah.
Beberapa brosur saya bawa pulang sekedar pamer siapa tau nyak saya kemudian
berminat. Melihat kurang baiknya respon, saya kemudian pasrah. Teman-teman saya
sudah mulai mendaftar melalui jalur prestasi, ada yang di Sadhar ada pula yang
di Atma, dan UKDW. Salah satu pengajar saya adalah seorang Romo heran karena
saya tidak termasuk ke dalam jajaran anak-anak kece yang berlomba-lomba sibuk
dengan pendaftaran. Kemudian Romo memanggil enyak saya dan mulai membujuk agar
memasukkan saya kuliah. Melihat saya anak yang cukup cerdas, banyak kegiatan
positif seperti OSIS dan mengikuti kursus, maka Romo memasukkan saya ke kampus
Sadhar dengan jurusan PBSID (Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah)
dengan jalur prestasi. Beruntung, saya lolos seleksi dan bebas biaya
administrasi pendaftaran, yang seharusnya di jaman itu (2006) harus membayar
sekitar 2 juta, saya membayar 0 rupiah alias tidak membayar. Kalau bukan karena
Romo Sheko mungkin sekarang saya tidak bisa menjadi guru untuk muridku J
Tahun
pertama dan kedua, saya ikut kakak saya kos di daerah Umbularjo, bagian selatan
kota Jogja, sementara kampus saya berada di ujung utara kota Jogja. Awalnya
berat, karena saya harus diantar jemput baik oleh embak maupun oleh pacarnya.
Kadang jam kuliah yang tidak tentu dan sampai sore membuat kami berselisih,
karena waktu itu saya belum punya SIM dan embak saya nggak memperbolehkan saya
naik motor. Masa menjadi anak nongkrong dimulai kembali ketika saya ditinggal
embak saya kerja di Gombong. Ada dua pilihan waktu itu, tidak dibawakan motor
tapi kos di dekat kampus, atau dibawakan motor tapi kos tetap di Umbularjo.
Saya mendapat pilihan yang kedua, lebih baik punya kendaraan sendiri tapi jauh daripada
merepotkan orang lain. Di semester 3 saya punya pacar, ketika kos saya masih
jauh di ujung selatan, saya kasihan juga kalau diapelin sejauh itu. Hahaha.
Tapi hanya bertahan setahun setelah ditinggal oleh embak saya. Fisik saya yang
mulai lelah, mulai berdemo. Saya mencoba mencari kos yang dekat dengan kampus
dan murah. Kemudian saya mendapat tempat kos yang bisa satu kamar berdua. Saya
akhirnya pindah kos ke daerah dekat kampus, tentunya dengan membawa motor.
Hahai :D
Selama
menjadi anak kos adalah anugerah. Jauh dari orang tua memaksa saya harus
menjadi seorang yang mandiri. Apalagi, saya bukan termasuk anak yang setiap
minggu atau setiap bulan sekali pulang ke rumah. Ya, saya pulang apabila itu
libur panjang saja. Menjadi anak kos itu terkadang memang butuh perjuangan,
kamu harus pintar mengatur keuanganmu, padahal kamu belum berkeluarga. Kamu mulai
punya kebiasaan yang berbeda, ada sedikit kebebasan tanpa batas, yang hanya
diri sendiri yang bisa memberi batasannya. Dan inilah yang terkadang membuat
anak-anak kos kebablasan.
Insomnia
adalah penyakit baru saya ketika saya menjadi anak kos. Tidur hanya satu jam
pernah, tidak tidur sama sekali karena besoknya kuliah pagi juga pernah. Kebiasaan
amburadulnya waktu makan dan waktu tidur mulai dialami ketika sudah menginjak
semester tua, masa-masa di mana sudah mulai mengambil SKS dengan mata kuliah
dengan materi banyak presentasinya, laporannya, dan mulai adanya PPL.
Yang
membuat saya bersyukur sebenarnya satu, kesempatan. Kesempatan untuk menikmati
Jogja dan segala isinya. Selama saya menjadi warga Jogja selama 5 tahunan, saya
menikmati selera saya merasakan indahnya Jogja. Saya bukan anak mall, menurut
saya mall itu bukan tempat nongkrong yang asyik. Mall itu hanya untuk nonton
bioskop (sebelum ada XXI) dan belanja cari diskonan :D. Saya bukan anak dugem.
Selama di Jogja, saya nggak pernah (dan sama sekali nggak tertarik) dengan
ajeb-ajeb begituan. Sebagian orang mungkin berpendapat kalau sudah dugem itu
tampak keren? Ah, itu selera sih, ya. Tapi entah, sepulang kamu dari tempat
dugem menurut saya itu nggak termasuk dalam kategori keren. Keren habis minum Vodka?
Keren habis minum jus jeruk yang harganya segelas 60ribu? Oh, keren menurut
sebagian orang, tapi saya enggak :D selera sih, ya. Soal selera, saya lebih
berselera menjadi pejalan kaki blusukan menyusuri Jalan Malioboro, Pasar
Bringharjo, kemudian duduk-duduk di sekitar Benteng Vrederburg sembari makan
jagung bakar, atau sate gajih, atau ngliatin anak-anak skater, b’boy, atau
sederet mas-mas pecinta sepeda onthel. Saya berselera menikmati malam bertabur
bintang-bintang di alun-alun kidul, meski itu sudah jam 11 malam, daripada
menikmati lampu-lampu warna warni yang muter-muter di kepala di suatu ruangan
sumpek dengan orang-orang yang mungkin curi-curi kesempatan pegang-pegang
pantat. Saya lebih berselera dengan suara musik jalanan, bahkan ikut bernyanyi,
bahkan ikut menyanyi (ngamen) di sepanjang Kali Code, menghibur pengunjung yang
menikmati malam dengan kopi hangat dan roti bakarnya, daripada menikmati musik
keras yang membuat jantung copot. Saya wanita vintage, yang suka sekali dengan
kejadulan yang menurut saya keren tiada banding. Daripada dibonceng naik motor
vixion atau ninja, saya lebih in kalau
dibonceng naik vespa atau motor kinjeng mulus dan terurus. Bersama teman-teman
menghabiskan satu malam di Jogja sampai subuh karena tidak bisa pulang ke kos
karena jam portal, atau sekedar makan nasi kucing di pinggiran yang murah
meriah, atau nomaden, menginap di rumah-rumah teman yang asli Jogja sembari
berkenalan dengan orang tua mereka. Mengunjungi pantai demi pantai, mencari
tempat-tempat warung kopi yang seru, duduk di Tugu Jogja sampai ke tangga
paling atas (sekarang udah g boleh, bahkan di teralis), menjadi pengamen di
Sunday Morning UGM, mengerjakan skripsi di perpustakaan sampai jam perpustakaan
tutup. Memori tentang pengalaman berpetualang selama menjadi kalong waktu itu
terkadang membuat saya rindu. Selama 8
tahun menjadi anak kos memaksa saya semakin terbiasa dengan kemandirian.
Karena kos, mau tidak mau saya bisa memasak dengan menu-menu sederhana. Dengan
kos, kebebasan saya untuk bergaul juga semakin luas, terkadang kos saya menjadi
tempat berkumpul teman-teman cewek bahkan cowok. Sekedar mainlah, masak-masak
lah, copas tugas kuliah lah, atau tempat untuk curhat dan sekedar ingin
beristirahat. Saya ingat betul malam itu, ada teman saya cowok malam-malam datang
ke kos (belum jam malam), dia datang dengan tubuh sempoyongan dan nafasnya
tercium bau minuman keras, kemudian langsung kipluk di kasur dan tidak berkata
apa-apa. Hanya satu kalimat, “Pijiti, Ndang”. Saya pijit sembari mencari tau
teman saya itu kenapa. Tapi dia tidak bergeming, saya pun tidak melanjutkan
investigasi saya, karena dia tertidur sampai akhirnya saya usir karena jam
malam telah habis. Dia berlalu sambil mengucapkan terima kasih. Yah, jadi anak
kos kadang menjadi tempat persinggahan bagi teman-teman saya yang sedang bosan
di kosnya sendiri. Ingin sekedar curhat, kemudian menginap dan begadang hingga
kami ketiduran. Sekarang, meski masih berstatus anak kos, saya tidak bisa lagi
seperti dulu. Penyakit insom saya lama-lama hilang. Profesi guru yang cukup
melelahkan di pagi hingga siang hari membuat kebiasaan tidur malam berkurang.
Dulu saya kuat melek, meski tidak minum kopi. Kini, sejalan dengan usia dan
daya tahan tubuh membuat saya harus tidur lebih awal untuk menyimpan tenaga di
hari esok. Yang membuat saya masih betah adalah diajak main, berjalan-jalan,
menjadi penjelajah dan petualang. Saya tetap senang menikmati angin berhembus,
kadang menikmati sejuknya rintik hujan, sengaja tidak membawa jas hujan agar
dapat berteduh dan berkesempatan berbincang dari hal penting sampai tidak
penting. Meski kini tinggal tak jauh dari Jogja, kadang saya rindu suasana
Jogja yang selalu ramai, hingar bingarnya di kala malam, serunya naik motor dan
berebut jalan dengan pengendara lain. Saya rindu kuliner Jogja, yang murah,
yang beragam, dengan tempat-tempat unik yang membuat penasaran.
Syukurlah,
karena saya kuliah di Jogja, dengan menjadi anak kos, saya cukup punya modal
menjadi wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Saya sudah biasa tidak
tergantung orang tua, apalagi setelah bekerja begini. Peran orang tua tidak
lagi menjadi pemasok utama saya bertahan hidup, kini menjadi bergeser hanya
sekedar penyemangat. Posisinya bertukar, kini saya yang membantu memasok masa tua
mereka. Menjadi anak kos berkurang kemungkinan untuk merepotkan orang tua,
bagaimana tidak, kamu harus bisa menyiapkan segala sesuatunya sendiri, mulai
dari menyiapkan makan, menyuci, menyetrika seragam, hingga berbelanja kebutuhan
hidup. Suatu saat kehidupan anak kos akan naik tingkat menjadi kehidupan
berumah tangga. Semua kemandirian ini sudah saya pupuk 8 tahun. Kembali ke
selera. Saya lebih berselera mendampingi pria saya berproses hingga dia sukses
daripada hanya menikmati hasilnya semata. Mengapa? Karena saya sudah terbiasa
dengan proses dari masa-masa menjadi anak kos. Siapa yang tidak mau punya pria
sukses? Saya pun mau. Inilah yang saya pelajari, kelak jika saya dan pasangan
berada di titik di mana kami dipusingkan oleh masalah ekonomi, maka saya tidak
akan kaget, saya tidak akan menuntut ini itu. Justru karena kebiasaan dari
menjadi anak kos yang harus memutar otak antara biaya kuliah, kesenangan
pribadi, hingga kebutuhan hidup bisa menjadi pelajaran ketika berumah tangga
kelak.
Kalau
ingin memilih, saya sebenarnya gak mau jauh dari orang tua, dan selama 8 tahun
harus hidup bosan tinggal di satu kamar dengan orang asing yang mau tidak mau
harus menjadi bagian dari keluarga yang baru. Kalau ingin memilih, Gombong
punya universitas sehingga tidak harus belajar jauh meninggalkan kota tercinta.
Tapi sama saja, dasar saya orangnya tidak betah di rumah juga, maka meski ada
universitas di Gombong pun, saya tetap jadi kalong, dan babe saya tentu jadi
bapak kos paling galak. :D
Sekian
J