Senin, 27 Oktober 2014

Ini Soal Selera

Ini soal selera. Setiap orang diciptakan memiliki selera masing-masing. Contoh kecil soal selera makan, ada yang doyan pedas, ada yang doyan manis, atau sekedar asin gurih. Demikian juga menanggapi tentang hidup dan cara kamu menjalaninya. Tergantung seleramu, tergantung kesukaanmu. Ini hidupku, dan ini seleraku! Tulisan ini sebenernya karena teringat bahwa sudah lama saya jauh dari orang tua saya. Itu semua karena keputusan saya kos, dibalik cerita itu semua banyak hal menarik yang ingin saya share’kan. Mungkin ini pula yang dirasakan banyak anak-anak kuliah yang memiliki selera masing-masing dalam menjalani perannya sebagai mahasiswa dan mahasiswi. Seru? Jelas! Menarik? Pasti. Lain cerita, jika memang anak kuliah tapi masih tinggal seatap dengan orang tua, mungkin masih menjadi anak rumahan, hingga sekarang? Ah, bisa jadi.
***
Saya doyan banget main, nongkrong, berlama-lama di luar, ketimbang duduk diam di rumah hanya nonton TV dan tidur. Memang dasarnya supel, jadi kalau menemukan tempat baru dan kebetulan ada orang-orang seru membuat saya bertambah kawan. Saya mau cerita nih, gimana serunya jadi saya yang dulu, yang kerjaannya main terus, tapi bersyukur, karena ternyata kesempatan itu baru terasa nikmatnya setelah saya merasa tidak mungkin lagi mengulangi masa-masa jaya dulu. Cieeehh jayaaa!
Masa Putih Biru
Saya gak akan cerita detil ketika saya sekolah saat SMP, hanya di kelas 3 ada satu kebiasaan seru yang ujung-ujungnya makan enak. Apa itu? Di kelas saya dulu, kami punya yang namanya arisan. Satu kelas itu sekitar 30an anak kalau nggak salah (lupa), iuran Rp 1.000 rupiah setiap hari. Di minggu kedua ketika arisan dikocok, kalau yang menang itu biasanya traktir-traktir makan di malam minggu. Nah, temen-temen saya dari kelas lain yang g ikut arisan juga kedapetan makan gratis kalau kami dapat arisan. Setiap pulang misa sore hari Sabtu, kami selalu berkumpul di dekat gereja, tepatnya di sebelah warung Burjo milik si AA (sampe sekarang g tau namanya -_-).  Sebelum ritual makan-makan, biasanya kami ngumpul sampai nunggu teman-teman kami komplit (maksudnya sih biar boncengannya pas, hehehe). Kadang kalau kurang pas, beberapa teman bawa temannya untuk ikut bergabung, atau sepupunya yang cakep, atau bawa motor dua, pokoknya sampai motornya ada 10 (kalau berboncengan berarti ada sekitar 20an). Kalau sudah lengkap, kami melakukan perjalanan mengitari kota kecil kami, mencari jalan yang belum pernah dijelajahi, atau naik ke Waduk Sempor. Setelah puas ngabisin bensin, kami mencari tempat makan, yang murah meriah (kadang ya mahal—kalau yang bayarin kebetulan dari anak yang mampu, :p ). Kebiasaan bermalam minggu ini kurang lebih sampai SMA awal, karena di masa SMA kami ada yang berbeda sekolah, ada yang di De Britto, ada yang di negeri, ada juga yang masih cinta di Pius (seperti saya, hehehe). Jarangnya kami berkumpul juga karena beberapa di antara kami sudah memiliki pasangan, jadi intensitas bermalam minggu jadi.... yah, you know lah... Saya paling malam pulang ke rumah di malam minggu itu jam 9, kalau sudah lewat dari jam 9, babe, enyak, embak saya udah krang kring krang kring hape saya. Bahkan mau dijemput di lokasi nongkrong. Kadang pernah kelupaan, karena waktu itu masa-masa Piala Dunia, dan pas banget yang main Jerman, saya sedang seru-serunya nonton bareng dengan teman-teman di rumah teman saya, dan... saya dijemput -_- . Kegiatan bermalam minggu ini ternyata menular ke adik-adik kelas kami di beberapa generasi. Mereka juga ikutan nongkrong, ngabisin bensin juga. Jadi kadang kalau di jalan sempitnya Gombong udah kaya arak-arakan motor dengan kecepatan minim dan suara cekakak cekikik ala anak alay.

Masa Putih Abu-abu
Masa ini sudah berbeda, seperti yang tadi tertulis di atas, kebiasaan bermalam minggu ngabisin bensin mulai sedikit ditinggalkan karena beberapa teman sudah punya kekasih, termasuk saya. Saya mulai berpacaran di bangku kelas 2 SMA. Pacar saya lebih muda setahun, adik kelas saya yang imut dan berlesung pipit (#ngek). Kami hanya berjalan sekitar 2 tahun, karena jarak membuat saya curigaan dan kurang percaya. Di matanya, saya itu wanita yang memiliki selera yang tinggi (entah, ya, selera dalam kacamata seperti apa), tapi menurutnya karena saya banyak teman dan mudah bergaul membuat dia was-was, apalagi saya sudah berpikir selangkah lebih dewasa daripada cara berpikirnya yang masih ingin senang-senang. Masa putih abu-abu, selain karena faktor pacar, kegiatan menjadi anak band juga sempat saya jalani. Babe saya sangat suka kalau saya diajak teman-teman saya ngeband, karena babe saya suka musik. Saya nggak punya band, kadang saya cuma ngebantu jadi featuring aja kalau lagi ada acara reunian sekolah, atau lomba ngeband. Tapi karena itu malah ikut-ikut diwawancarai radio, dapet duit (walau dapetnya duit sisa -_-), jadi banyak fansnya (Eh, mbake sing duet karo koe jenenge sapa?). Nah, kalau di hari Minggu ada festival band, pasti ada saya itu, entah yang nyanyi, atau Cuma nonton aja.

Masa Anak Kuliah
Jadi anak kuliah di Jogja itu seperti mimpi. Pasalnya, awalnya nyak saya itu nggak ngebolehin saya kuliah di Universitas karena biaya yang mahal. Kemudian saya sedikit protes, kakak saya saja dikuliahin di Jogja, masa saya enggak? (biasa anak frontal). Kemudian di masa-masa caturwulan II (dulu jamannya caturwulan belum semester), brosur-brosur kampus ternama mulai nangkring di sekolah. Beberapa brosur saya bawa pulang sekedar pamer siapa tau nyak saya kemudian berminat. Melihat kurang baiknya respon, saya kemudian pasrah. Teman-teman saya sudah mulai mendaftar melalui jalur prestasi, ada yang di Sadhar ada pula yang di Atma, dan UKDW. Salah satu pengajar saya adalah seorang Romo heran karena saya tidak termasuk ke dalam jajaran anak-anak kece yang berlomba-lomba sibuk dengan pendaftaran. Kemudian Romo memanggil enyak saya dan mulai membujuk agar memasukkan saya kuliah. Melihat saya anak yang cukup cerdas, banyak kegiatan positif seperti OSIS dan mengikuti kursus, maka Romo memasukkan saya ke kampus Sadhar dengan jurusan PBSID (Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah) dengan jalur prestasi. Beruntung, saya lolos seleksi dan bebas biaya administrasi pendaftaran, yang seharusnya di jaman itu (2006) harus membayar sekitar 2 juta, saya membayar 0 rupiah alias tidak membayar. Kalau bukan karena Romo Sheko mungkin sekarang saya tidak bisa menjadi guru untuk muridku J
Tahun pertama dan kedua, saya ikut kakak saya kos di daerah Umbularjo, bagian selatan kota Jogja, sementara kampus saya berada di ujung utara kota Jogja. Awalnya berat, karena saya harus diantar jemput baik oleh embak maupun oleh pacarnya. Kadang jam kuliah yang tidak tentu dan sampai sore membuat kami berselisih, karena waktu itu saya belum punya SIM dan embak saya nggak memperbolehkan saya naik motor. Masa menjadi anak nongkrong dimulai kembali ketika saya ditinggal embak saya kerja di Gombong. Ada dua pilihan waktu itu, tidak dibawakan motor tapi kos di dekat kampus, atau dibawakan motor tapi kos tetap di Umbularjo. Saya mendapat pilihan yang kedua, lebih baik punya kendaraan sendiri tapi jauh daripada merepotkan orang lain. Di semester 3 saya punya pacar, ketika kos saya masih jauh di ujung selatan, saya kasihan juga kalau diapelin sejauh itu. Hahaha. Tapi hanya bertahan setahun setelah ditinggal oleh embak saya. Fisik saya yang mulai lelah, mulai berdemo. Saya mencoba mencari kos yang dekat dengan kampus dan murah. Kemudian saya mendapat tempat kos yang bisa satu kamar berdua. Saya akhirnya pindah kos ke daerah dekat kampus, tentunya dengan membawa motor. Hahai :D
Selama menjadi anak kos adalah anugerah. Jauh dari orang tua memaksa saya harus menjadi seorang yang mandiri. Apalagi, saya bukan termasuk anak yang setiap minggu atau setiap bulan sekali pulang ke rumah. Ya, saya pulang apabila itu libur panjang saja. Menjadi anak kos itu terkadang memang butuh perjuangan, kamu harus pintar mengatur keuanganmu, padahal kamu belum berkeluarga. Kamu mulai punya kebiasaan yang berbeda, ada sedikit kebebasan tanpa batas, yang hanya diri sendiri yang bisa memberi batasannya. Dan inilah yang terkadang membuat anak-anak kos kebablasan.
Insomnia adalah penyakit baru saya ketika saya menjadi anak kos. Tidur hanya satu jam pernah, tidak tidur sama sekali karena besoknya kuliah pagi juga pernah. Kebiasaan amburadulnya waktu makan dan waktu tidur mulai dialami ketika sudah menginjak semester tua, masa-masa di mana sudah mulai mengambil SKS dengan mata kuliah dengan materi banyak presentasinya, laporannya, dan mulai adanya PPL.
Yang membuat saya bersyukur sebenarnya satu, kesempatan. Kesempatan untuk menikmati Jogja dan segala isinya. Selama saya menjadi warga Jogja selama 5 tahunan, saya menikmati selera saya merasakan indahnya Jogja. Saya bukan anak mall, menurut saya mall itu bukan tempat nongkrong yang asyik. Mall itu hanya untuk nonton bioskop (sebelum ada XXI) dan belanja cari diskonan :D. Saya bukan anak dugem. Selama di Jogja, saya nggak pernah (dan sama sekali nggak tertarik) dengan ajeb-ajeb begituan. Sebagian orang mungkin berpendapat kalau sudah dugem itu tampak keren? Ah, itu selera sih, ya. Tapi entah, sepulang kamu dari tempat dugem menurut saya itu nggak termasuk dalam kategori keren. Keren habis minum Vodka? Keren habis minum jus jeruk yang harganya segelas 60ribu? Oh, keren menurut sebagian orang, tapi saya enggak :D selera sih, ya. Soal selera, saya lebih berselera menjadi pejalan kaki blusukan menyusuri Jalan Malioboro, Pasar Bringharjo, kemudian duduk-duduk di sekitar Benteng Vrederburg sembari makan jagung bakar, atau sate gajih, atau ngliatin anak-anak skater, b’boy, atau sederet mas-mas pecinta sepeda onthel. Saya berselera menikmati malam bertabur bintang-bintang di alun-alun kidul, meski itu sudah jam 11 malam, daripada menikmati lampu-lampu warna warni yang muter-muter di kepala di suatu ruangan sumpek dengan orang-orang yang mungkin curi-curi kesempatan pegang-pegang pantat. Saya lebih berselera dengan suara musik jalanan, bahkan ikut bernyanyi, bahkan ikut menyanyi (ngamen) di sepanjang Kali Code, menghibur pengunjung yang menikmati malam dengan kopi hangat dan roti bakarnya, daripada menikmati musik keras yang membuat jantung copot. Saya wanita vintage, yang suka sekali dengan kejadulan yang menurut saya keren tiada banding. Daripada dibonceng naik motor vixion atau ninja, saya lebih in kalau dibonceng naik vespa atau motor kinjeng mulus dan terurus. Bersama teman-teman menghabiskan satu malam di Jogja sampai subuh karena tidak bisa pulang ke kos karena jam portal, atau sekedar makan nasi kucing di pinggiran yang murah meriah, atau nomaden, menginap di rumah-rumah teman yang asli Jogja sembari berkenalan dengan orang tua mereka. Mengunjungi pantai demi pantai, mencari tempat-tempat warung kopi yang seru, duduk di Tugu Jogja sampai ke tangga paling atas (sekarang udah g boleh, bahkan di teralis), menjadi pengamen di Sunday Morning UGM, mengerjakan skripsi di perpustakaan sampai jam perpustakaan tutup. Memori tentang pengalaman berpetualang selama menjadi kalong waktu itu terkadang membuat saya rindu. Selama 8  tahun menjadi anak kos memaksa saya semakin terbiasa dengan kemandirian. Karena kos, mau tidak mau saya bisa memasak dengan menu-menu sederhana. Dengan kos, kebebasan saya untuk bergaul juga semakin luas, terkadang kos saya menjadi tempat berkumpul teman-teman cewek bahkan cowok. Sekedar mainlah, masak-masak lah, copas tugas kuliah lah, atau tempat untuk curhat dan sekedar ingin beristirahat. Saya ingat betul malam itu, ada teman saya cowok malam-malam datang ke kos (belum jam malam), dia datang dengan tubuh sempoyongan dan nafasnya tercium bau minuman keras, kemudian langsung kipluk di kasur dan tidak berkata apa-apa. Hanya satu kalimat, “Pijiti, Ndang”. Saya pijit sembari mencari tau teman saya itu kenapa. Tapi dia tidak bergeming, saya pun tidak melanjutkan investigasi saya, karena dia tertidur sampai akhirnya saya usir karena jam malam telah habis. Dia berlalu sambil mengucapkan terima kasih. Yah, jadi anak kos kadang menjadi tempat persinggahan bagi teman-teman saya yang sedang bosan di kosnya sendiri. Ingin sekedar curhat, kemudian menginap dan begadang hingga kami ketiduran. Sekarang, meski masih berstatus anak kos, saya tidak bisa lagi seperti dulu. Penyakit insom saya lama-lama hilang. Profesi guru yang cukup melelahkan di pagi hingga siang hari membuat kebiasaan tidur malam berkurang. Dulu saya kuat melek, meski tidak minum kopi. Kini, sejalan dengan usia dan daya tahan tubuh membuat saya harus tidur lebih awal untuk menyimpan tenaga di hari esok. Yang membuat saya masih betah adalah diajak main, berjalan-jalan, menjadi penjelajah dan petualang. Saya tetap senang menikmati angin berhembus, kadang menikmati sejuknya rintik hujan, sengaja tidak membawa jas hujan agar dapat berteduh dan berkesempatan berbincang dari hal penting sampai tidak penting. Meski kini tinggal tak jauh dari Jogja, kadang saya rindu suasana Jogja yang selalu ramai, hingar bingarnya di kala malam, serunya naik motor dan berebut jalan dengan pengendara lain. Saya rindu kuliner Jogja, yang murah, yang beragam, dengan tempat-tempat unik yang membuat penasaran.
Syukurlah, karena saya kuliah di Jogja, dengan menjadi anak kos, saya cukup punya modal menjadi wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Saya sudah biasa tidak tergantung orang tua, apalagi setelah bekerja begini. Peran orang tua tidak lagi menjadi pemasok utama saya bertahan hidup, kini menjadi bergeser hanya sekedar penyemangat. Posisinya bertukar, kini saya yang membantu memasok masa tua mereka. Menjadi anak kos berkurang kemungkinan untuk merepotkan orang tua, bagaimana tidak, kamu harus bisa menyiapkan segala sesuatunya sendiri, mulai dari menyiapkan makan, menyuci, menyetrika seragam, hingga berbelanja kebutuhan hidup. Suatu saat kehidupan anak kos akan naik tingkat menjadi kehidupan berumah tangga. Semua kemandirian ini sudah saya pupuk 8 tahun. Kembali ke selera. Saya lebih berselera mendampingi pria saya berproses hingga dia sukses daripada hanya menikmati hasilnya semata. Mengapa? Karena saya sudah terbiasa dengan proses dari masa-masa menjadi anak kos. Siapa yang tidak mau punya pria sukses? Saya pun mau. Inilah yang saya pelajari, kelak jika saya dan pasangan berada di titik di mana kami dipusingkan oleh masalah ekonomi, maka saya tidak akan kaget, saya tidak akan menuntut ini itu. Justru karena kebiasaan dari menjadi anak kos yang harus memutar otak antara biaya kuliah, kesenangan pribadi, hingga kebutuhan hidup bisa menjadi pelajaran ketika berumah tangga kelak.
Kalau ingin memilih, saya sebenarnya gak mau jauh dari orang tua, dan selama 8 tahun harus hidup bosan tinggal di satu kamar dengan orang asing yang mau tidak mau harus menjadi bagian dari keluarga yang baru. Kalau ingin memilih, Gombong punya universitas sehingga tidak harus belajar jauh meninggalkan kota tercinta. Tapi sama saja, dasar saya orangnya tidak betah di rumah juga, maka meski ada universitas di Gombong pun, saya tetap jadi kalong, dan babe saya tentu jadi bapak kos paling galak. :D
Sekian J