Jumat, 03 Agustus 2012

“guru” - di GUgu lan di tiRu”

Dulu… di bangku kelas 4 SD, guru bahasa Indonesiaku bertanya, “apa cita-citamu kelak”.
Dulu… secara spontan, aku berkata, “aku ingin jadi guru, seperti bu guru”.
Dulu… menginjak masa SMA, di mana kelulusan menjadi satu-satunya harapan. Aku tak tau ingin dan akan melanjutkan kemana. Tapi, satu-satunya jalan bisa menyandang mahasiswa adalah menjadi mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Kini, setelah melewati serangkaian proses menjadi seorang guru “baru”, di mana semua bekal  yang setengah matang harus benar-benar matang setelah terjun ke dunia pendidikan, yakni: sekolah.
Kini, di sekolah itu status “guru” membelengguku. Senangkah kini aku?
***
Tidak semudah mengatakannya, bahwa guru itu menjadi panutan, guru itu contoh, dan guru itu menjadi satu-satunya tokoh idola anak-anak yang sangat “dipercaya”.
Ya, semua ilmumu, semua perkataanmu, semua perbuatanmu, adalah “penglihatan” anak-anak. Aku mengalaminya, ketika masih duduk di bangku sekolah, bahkan kuliah, aku selalu memperhatikan penampilan guruku, caranya mengajar, kekilerannya, kekonyolannya, bahkan ciri khas akan cepat melekat.
Maka benar adanya jika slogan “guru”: digugu lan ditiru (baca: didengarkan dan ditiru) menjadi sesuatu yang tak bisa lepas.
Menjadi seorang guru adalah seorang pendidik pula, meski kamu belum menikah, tidak memiliki anak, dan tidak memiliki adik, anak-anak di sekolah itulah tanggungjawabmu.
Kini, pemerintah dan sekolah memiliki program membentuk pendidikan karakter bagi anak-anak didiknya. Tidak untuk waktu yang singkat tentunya, namun akan berdampak luar biasa ketika mereka dewasa nanti.
Simple, ketika si guru berkata, “Jangan berbohong”, maka akan lebih baik, guru juga memberi contoh bagaimana sikap tidak berbohong itu, bukan sekedar berkata “jangan” tapi “tunjukkan”.
Menjadi seorang guru, harusnya memiliki beberapa bekal, yakni:
a. Profesional
    Apa maksudnya profesional? Aku bisa menjadi seorang guru profesional apabila, aku memiliki dedikasi tinggi di bidang pendidikan. Tidak membawa “masalah” apapun, ke dalam proses KBM. Mengesampingkan perasaan yang bisa mengganggu proses belajar. Mudah? Tentu tidak, terkadang, siswa di kelas justru menjadi “tumbal” kemarahan kita ketika dirundung masalah. Hal itu tidak dibenarkan, seorang guru yang profesional harus menahannya. Aku, memakai cara: tarik hembuskan, meminta waktu kepada siswa untuk pergi ke belakang, untuk membenahkan diri agar bisa kembali seperti biasanya.
b. Kreatif
    Modal seorang guru yang terpenting adalah kreatif. Aku tak puas jika harus meng”copas” RPP dan silabus milik orang lain. AKu meminta referensi RPP dan silabus tapi tentu banyak pengubahan di sana-sini. Karena RPP dan Silabus itu disesuaikan dengan kondisi kelas dan anak. RPP yang banyak disediakan di om google itu hanyalah referensi, bisa diterapkan apabila cocok. Kalau tidak, mohon jangan dipaksakan.
c. Inovatif
    Guru yang baik itu harus memiliki inovasi yang baru, tidak monoton. Abad 21 tidak lepas dari IT, pakailah media dan IT yang memungkinkan anak untuk menjamah. Jangan biarkan anak berhenti di satu titik saja, ajaklah mereka untuk menjelajah. Ajaklah mereka menggunakan alam dan lingkungan.
d. Hati
    Sebelum menentukan pilihan, persiapkan hatimu dulu. Kalimat ini yang selalu menjadi pedoman langkahku. Mengajar dan menjadi pendidik, harus dengan hati, bukan sekedar tuntutan. Kelak, anak-anak yang kita didik, bukan sekedar mengenal kita sebagai seorang guru semata, namun, bisa menjadi teman, ibu, kakak, yang dapat dipercaya.
e. Mau terus belajar
     Sangat tak mungkin menjadi guru tidak belajar. Guru itu terus menerus belajar, sama dengan muridnya setiap malam belajar.
Masih banyak hal lain yang patut diperhatikan. Masa depan, akan seperti apa dunia pendidikan kita? Fasilitator, aku adalah “alat” untuk membantu anak-anakku menjadi karakternya…

*tulisan ini juga ada di  http://mouniqamiya.tumblr.com/

Tidak ada komentar: