Selasa, 14 Desember 2010

dari sajak menjadi puisi bahkan lagu

Sebuah pesan singkat sampai menjelang malam... drrrt drrttt... (bergetar)

"Mba... bisa buatke parafrase lagu ga?" begitu kira-kira isi pesan singkat itu.

Hmmm, adik pacar tiba-tiba minta dibuatkan parafrase lagu, dengan alasan mau dikumpul keesokan harinya. Sedikit kaget, tapi bagiku biasa, soalnya sebagai calon guru Bahasa Indonesia kan kaya gitu jadi tantangan... hahhaha.. (sakjane ngayem2i adek, ben ra patek'o mumet). Alhasil karena jarak yang jauuuuhhhh banget (padahal cm Jogja-Magelang), maka parafrase itu saya kirim lewat fesbuk (hhohohoo).

Ternyata, kebanyakan anak SMA/SMK belom tau betul apa itu parafrase. Mungkin, mendengar istilahnya saja tampak asing. Secara garis besar parafrase itu hasil menceritakan kembali puisi atau cerpen atau karya sastra lainnya, dengan bahasa sendiri tanpa mengubah makna yang ada di dalamnya. Ada dua macem yang saya tau, yaitu dengan menggunakan alur (bahasa sendiri) atau dengan menambahkan imbuhan saja untuk mempermudah. Ya, gini-gini juga pernah jadi guru PPL di salah satu sekolah homogen di Yogya. Hebat kan saya... (muji dikit gpp ya).

Dan ini beberapa hasil puisi dan lagu yang berhasil saya parafrasekan.. hahhahaa :]

Parafrase Lagu:
PERJALANAN
Karya: Franky dan Jane Sahilatua
Dengan Kereta Malam
ku Pulang Sendiri
Mengikuti Rasa Rindu
Pada Kampung Halamanku
Pada Ayah Yang Menunggu
Pada Ibu Yang Mengasihiku

Duduk Dihadapanku Seorang Ibu
Dengan Wajah Sendu
Sendu Kelabu
Penuh Rasa Haru Ia Menatapku
Penuh Rasa Haru Ia Menatapku
Seakan Ingin Memeluk Diriku

Ia Lalu Bercerita Tentang
Anak Gadisnya Yang Telah Tiada
Karena Sakit dan Tak Terobati
Yang Wajahnya Mirip Denganku

-------------------------------------------------------------------------------------------------

  • Parafrase (1)
            Malam itu, aku bermaksud pulang dengan naik kereta terakhir. Ada perasaan yang bercampur di dalam dadaku, rasa rindu yang terdalam akan kampung halamanku dan kehangatan pelukan ayah yang sudah menungguku, dan senyum manis ibuku dengan sejuta kasih sayang yang siap mencium mesra keningku.
            Tak jauh dari tempatku duduk, seorang ibu paruh baya, duduk dengan pandangan sendu. Bagai awan biru yang lantas tertutup gumpalan awan hitam yang menjadikannya kelabu. Tatapannya yang haru, membuatku salah tingkah. Aku pun larut kedalam keharuannya, entah apa yang membuatnya begitu sendu. Seolah ibu paruh baya itu ingin mendekap tubuhku erat. Namun, berhasil ia mengendalikan emosinya.
            Tiba-tiba, tanpa diberi aba-aba, ibu paruh baya tersebut bercerita. Tatapannya langsung jauh melayang mengingat anak gadisnya yang telah tiada. Sambil sesekali melihat ke arahku, ibu paruh baya tersebut kembali bercerita, tentang sakit anak gadisnya yang tidak terobati. Dan kini aku tau alasannya menatapku sendu dan antusias menceritakan anak gadisnya itu, sambil tersenyum getir ibu paruh bayu tersebut berkata bahwa wajah anak gadisnya mirip denganku.

------------------------------------------------------------------------------------------------------

  • Parafrase (2)
Malam itu, seorang gadis bermaksud pulang dengan naik kereta terakhir. Ada perasaan yang bercampur di dalam dadanya, rasa rindu yang terdalam akan kampung halamannya dan kehangatan pelukan ayah yang sudah menunggu, dan senyum manis ibu dengan sejuta kasih sayang yang siap mencium mesra keningnya.
<span> </span>Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang ibu paruh baya, duduk dengan pandangan sendu. Bagai awan biru yang lantas tertutup gumpalan awan hitam yang menjadikannya kelabu. Tatapannya yang haru, membuat gadis itu salah tingkah. Gadis itu pun larut kedalam keharuannya, entah apa yang membuatnya begitu sendu. Seolah ibu paruh baya itu ingin mendekap tubuhnya erat. Namun, berhasil ia mengendalikan emosinya.
<span> </span>Tiba-tiba, tanpa diberi aba-aba, ibu paruh baya tersebut bercerita. Tatapannya langsung jauh melayang mengingat anak gadisnya yang telah tiada. Sambil sesekali melihat ke arah gadis itu, ibu paruh baya tersebut kembali bercerita, tentang sakit anak gadisnya yang tidak terobati. Dan kini gadis itu tau alasannya menatapnya begitu sendu dan antusias menceritakan anak gadisnya itu, sambil tersenyum getir ibu paruh bayu tersebut berkata bahwa wajah anak gadisnya mirip dengan gadis yang duduk dihadapannya.


NB: Keterangan *Parafrase 1: adl orang pertama (penulis menceritakan dirinya)
<span> </span>  *Parafrase 2: kt ganti org k3 (penulis menceritakan orang lain; seorang gadis)



Gadis Kecil dan Lima Permen
oleh: herlinda mipur


buru-buru ku pacu sepedaku
menuju sebuah toko buku
ku rogoh kocek seribu
untuk membayar parkir sepedaku

buru-buru ku masuk ke toko buku
yang di jaga seorang ibu
dengan muka lusuh dan penuh peluh
yang tampak kuyu lagi lugu

senyumnya hangat menyambut kedatanganku
aku pun mengangguk dan tersipu


mata ini terus mencari
buku kimia yang kunanti
namun mata ini lalu beralih
kepada seorang gadis kecil seorang diri

tangan kanannya memegang buku gambar
tangan kirinya memegang lima buah permen
wajahnya tampak berbinar
kemudian menuju kasir dengan membawa permen

diletakkannya buku gambar
diletakkannya pula beberapa lembar uang
dan lima buah permen di tangan

ibu lugu itu tampak kebingungan
melihat si gadis kecil membawa permen di tangan
dengan tersenyum manis
si gadis kecil membalas
dengan ucapan, "yang lima ratus permen ya bu..."


* Parafrase:
(Siang itu) buru-buru ku pacu sepedaku
(kemudian) menuju sebuah toko buku (di jalan sana)
ku (me) rogoh kocek seribu (rupiah)
untuk membayar parkir sepedaku (itu)

(Siang itu) buru-buru (pula) ku masuk ke toko buku (itu)
yang di jaga (oleh) seorang ibu
dengan muka lusuh dan (muka) penuh peluh
yang (mukanya) tampak kuyu lagi lugu

senyumnya (yang) hangat menyambut kedatanganku
aku pun mengangguk dan tersipu (malu)

mata ini terus mencari (cari)
buku kimia yang (telah) kunanti
namun mata ini lalu beralih (lagi)
kepada seorang gadis kecil (yang berdiri) seorang diri

tangan kanannya (,) memegang buku (ber)gambar
tangan kirinya(,) memegang lima buah permen
wajahnya tampak berbinar (binar)
kemudian menuju kasir dengan membawa permen (di tangan)

diletakkannya buku (ber) gambar itu
diletakkannya pula beberapa lembar uang (ribuan)
dan lima buah permen di tangan(nya)

(wajah) ibu lugu itu tampak kebingungan
melihat si gadis kecil (itu) membawa permen di tangan (nya)
dengan (wajah yang) tersenyum manis
si gadis kecil (itu) membalas (nya)
dengan (meng) ucapan (kan), "yang lima ratus permen ya bu..."


* Parafrase utuhnya:

Siang itu, seorang pelajar SMA terburu-buru mengayuh sepedanya menuju sebuah toko buku. Dengan uang seribu, ia membayar parkir sepedanya terlebih dahulu. Buru-buru pula, pelajar itu masuk ke toko buku dan di sambut senyum hangat dari seorang ibu penjaga toko. Wajah ibu itu tampak lesu, dan kelelahan. Senyumnya yang ramah itu membuat pelajar itu sungkan dan tersipu malu.

Di dalam toko buku itu, pelajar itu mencari buku pelajaran Kimia. Dia berjalan menyusur lorong buku dan sibuk mencari buku itu. Namun, matanya tiba-tiba terhenti ketika melihat seorang gadis kecil berdiri di pojok lorong. Tangan kanannya memegang buku gambar, sedangkan tangan kirinya memegang lima buah permen. Raut wajahnya tampak berbinar, ada rasa puas dalam dirinya. Kemudian, gadis itu bergegas menuju ke kasir.

Gadis kecil itu meletakkan buku gambar, beberapa lembar uang ribuan dan lima buah permen. Ibu penjaga toko tampak kebingungan menerima uang dari gadis itu. Sambil tersenyum manis, gadis itu lantas berucap, " yang lima ratus permen ya bu...", katanya sambil berlalu membawa buku gambarnya.


Nb: kalau d liat... sebenernya ni adalah puisi sindiran... biasanya... kalau pemilik toko nggak ada kembalian receh, pasti kita d beri permen... gadis itu pun mengira, lima buah permen bisa menggantikan kekurangan uang lima ratus... 

.............................................................................................................................................................

Kira-kira begitulah yang namanya parafrase.. jika ada tambahan bisa langsung komentar ya.. hahaaha...
nah ini ada satu lagi bahasan menyoal puisi. Saya menganalisis sebuah puisi karena mengerjakan mata kuliah kritik sastra. Agak rumit sebenarnya, karena sastra biasanya penafsirannya banyak. Ini analisisnya....


MENGANALISIS PUISI
DOA SEBELUM MANDI
Karya Joko Pinurbo


Tuhan, saya takut mandi
Saya takut dilucuti
Saya takut pada tubuh saya sendiri

Kalau saya buka tubuh saya nanti,
Mayat yang saya sembunyikan
Akan bangun dan berkeliaran

Saya ini orang miskin yang celaka.
Hidup saya sudah telanjang.
Kerja saya mancari pekerjaan.

Tubuh saya sebdiri dipinjam orang
untuk menculuk dan membinasakan korban.
Mereka bisa dengan mudah dihilangkan
tapi di tubuh saya mereka tak dapat dilenyapkan.

Tuhan, mandikanlah saya
agar saudara kembar saya
bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya.



Seperti yang kita ketahui dalam menilai sebuah karya sastra haruslah dapat dilihat segi keindahan, keaslian cipta, memiliki pengalaman jiwa pengarangnya serta memiliki nilai seni. Pada puisi karya Joko Pinurbo ini, penulis akan mencoba menganalisisnya dari lapis-lapis norma yang ada, menurut analisis Roman Ingarden yang terdiri dari lapis bunyi (suara), lapis arti, lapis obyek, lapis “dunia”, dan lapis metafisika.

  1. LAPIS BUNYI

Pada bait pertama, penyair mempergunakan pola bunyi i dengan pola sajaknya : mandi – dilucuti – sendiri, yang kesemuanya merupakan ekspresi rasa takut, gugup, dan gelisah saat menghadap Tuhannya. Pada bait kedua, pola bunyi i masih tampak di sana, yang menggambarkan keragu-raguan. Setelah itu diikuti dengan pola bunyi an yang mengekspresikan kegelisahan.
Memasuki bait ketiga, penyair menggunakan pola bunyi dengan dominasi bunyi an yang menggambarkan kesedihan. Selain itu, untuk memperkuat kesedihan pola bunyi ang menjadi sebuah variasi di dalamnya. Sebagai puncaknya, di bait terakhir, pola bunyi yang digunakan adalah pola bunyi a dan nya. Di sini menunjukkan suasana kesedihan dan kepasrahan makin terasa.


  1. LAPIS ARTI

Doa Sebelum Mandi merupakan salah satu karya Joko Pinurbo yang sama seperti karya-karya yang lain. Dalam puisi ini tubuh manusia menjadi sorotan utama dengan maksud agar tubuh manusia lebih sebagai message bukan sekedar medium. Pada bait pertama baris pertama dikatakan bahwa: ” Tuhan saya takut mandi “, kalimat ini menunjukkan adanya ketakutan seseorang kepada Tuhannya, dia takut dimandikan. Baris kedua disebutkan: “ Saya takut dilucuti” maksudnya adalah dia takut tubuhnya ditelanjangi. Dan di baris terakhir : “ Saya takut pada tubuh saya sendiri”, dia takut pada jasadnya sendiri. Tubuh di sini diartikan sebagai jasadnya.
Bait kedua: “Kalau saya buka tubuh saya nanti”, berarti jika dia mebuka jasadnya nanti, mayat yang dia sembunyikan akan terus menghantuinya. Kalimat tersebut begitu mengekspresikan perasaan si saya yang penuh dengan kegelisahan dan ketakutan yang teramat sangat yang bercampur menjadi satu akibat perbuatannya.
Di bait ketiga ini dapat kita lihat, si saya mulai membuka diri dan mulai mengakui perbuatan apa yang sebenarnya dia lakukan. Di kalimat pertama, “ Saya ini orang yang miskin dan celaka”, si saya ternyata seorang yang miskin, di situ sangat jelas bagaimana latar belakangnya. Pada kalimat kedua disebutkan “Hidup saya sehari-hari sudah telanjang “, yang dimaksudkan adalah bahwa dalam kehidupan sehari-harinyapun dia tidak memiliki apa-apa untuk hidup.
“ Kerja saya mencari pekerjaan”, dia adalah seorang pengangguran dan mencoba untuk mencari pekerjaan apapun itu hanya untuk hidup dalam sehari. Di baris keempat dan kelima sangat erat hubungannya karena menunjukkan sisi lain dari si saya. ” Tubuh saya sering dipinjam orang”, tubuh di sini diartikan sebagai dirinya sendiri yang sering di bayar orang. Baris selanjutnya berbunyi ”Untuk menculik dan membinasakan orang”, pada baris ini jelas terlihat bahwa sisi lain si saya adalah seorang pembunuh bayaran, dia dipinjam untuk menculik dan membinasakan orang.
Pada baris selanjutnya disebutkan, ” Mereka bisa dengan mudah dihilangkan”, mereka yang dimaksudkan adalah korban-korban si saya yang bisa dengan mudah dia bunuh. ” Tapi di tubuh saya, mereka tak dapat dilenyapkan ”, tubuh disini bukan lagi diartikan sebagai tubuh yang sebenarnya, melainkan raganya, karena si saya telah meninggal, dan karena telah meninggal korban-korbannya sudah tidak bisa lagi dimusnahkan.
Pada bait terakhir, menggambarkan sebuah penyesalan dan ketakutan akan Tuhan. Kita dapat melihatnya pada baris pertama ”Tuhan, mandikanlah saya ”, mandi di sini bukan lagi diartikan sebagai mandi atau dimandikan, namun diartikan sebagai permohonan ampun, meminta dosa-dosanya dibersihkan. ”Agar saudara kembar saya”, saudara kembar diartikan sebagai jasadnya, dia ( rohnya ) minta agar jasadnya, ”bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya”. Pada kalimat terakhir ini dijelaskan bahwa si saya membunuh dirinya sendiri dan ingin meminta kedamaian dan ketenangan agar jasad dan rohnya bisa diampuni oleh Tuhan.


3. LAPIS OBJEK
Pada lapis ini, Joko Pinurbo melukiskan objek-objek yang dikemukakan : latar, pelaku, dan dunia pengarang. Cerita atau dunia yang diciptakan oleh daya imajinasi pengarang adalah sebagai berikut.
Saat si saya telah meninggal dia masih belum bertemu dengan Tuhannya. Dia masih berada di antara dunia nyata dan dunia akhirat. Raganya belum bersatu dengan Tuhan. Si saya berdoa kepada Tuhannya dengan sepenuh hati, karena dia begitu takut dengan Tuhan. Ketika berdoa, dia mengakui semua kesalahannya selama dia hidup di dunia. Perasaan takut, gelisah, dan penyesalan dia tunjukkan, dia ingin dosa-dosanya diampuni, dan bisa memperoleh kedamaian dan ketenangan.
Di dalam dunia pengarang itu tampak bahwa pelakunya adalah si saya, seorang pembunuh bayaran, latar terjadinya peristiwa di antara / di tengah-tengah dunia nyata dan dunia akhirat. Karena dia belum bertemu dengan Tuhan, dia masih mencari kedamaian. Objek-objek yang dikemukakan adalah : tubuh, mayat, pekerjaan, korban, dan saudara kembar.


4. LAPIS “DUNIA”
Lapis “dunia” adalah lapis yang dipandang dari sudut pandang tertentu, yang implisit adalah sebagai berikut. Dipandang dari objek-objek yang dikemukakan, puisi ini tidak melukiskan si saya menganut agama apa, namun pengarang melukiskan si saya adalah seorang yang beriman, dia percaya bahwa Tuhan itu ada, dia bukan penganut Atheisme. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kalimat, “Tuhan saya takut mandi”. Si saya masih memiliki rasa takut kepada Tuhan. Cerita ini terjadi di antara dua alam yang berbeda. Si saya yang sudah meninggal namun belum bertemu dengan Tuhannya, dia masih takut menghadap Tuhan dan ingin memohon ampun atas dosa-dosa yang telah dia perbuat selama hidupnya.


5. LAPIS METAFISIKA
Lapis ini berupa pandangan hidup/filsafat yang terdapat di dalamnya. Di awal tadi telah disebutkan bahwa si saya tidak diketahui manganut agama apa, namun begitu dia juga bukan penganut Atheisme yaitu paham yang tidak mengakui adanya Tuhan, si saya masih takut pada Tuhan, ia termasuk penganut filsafat eksistensialisme, ternyata dari ucapannya:

Tuhan, saya takut mandi
Saya takut dilucuti
Saya, takut pada tubuh saya sendiri
Filsafat eksistensialisme itu sendiri merupakan paham akan pertanggungjawaban kepada perbuatannya sendiri kepada Tuhan.
Dalam sajak ini Joko Pinurbo, dapat membuka kekacauan batin si saya dalam menghadapi perasaan kehidupan yang begitu kompleks. Ia masih mengakui adanya Tuhan, ia masih takut dengan Tuhan, disamping itu ia seorang ekstensialisme. Ia ingin terus menikmati hidup, namun profesinya sebagai pembunuh bayaran bertentangan dengan moral dan agama sehingga menimbulkan pertentangan-pertentangan batin, konflik-konflik kejiwaan. Ia tidak dapat mengambil keputusan tentang bagaimana memecahkan persoalannya. Ia tidak ingin terus menerus menjadi pembunuh bayaran. Jalan satu-satunya ia mengemukakan kekacauan jiwanya dengan membunuh dirinya sendiri. Hal ini tampak pada bait terakhir :

Tuhan, mandikanlah saya
agar saudara kembar saya
bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya.



Di atas penulis sudah mencoba menganalisis puisi Doa Sebelum Mandi yang telah memenuhi kriteria penilaian menurut lapis-lapis norma Roman Ingarden. Kita sudah mengetahui dari uraian di atas bahwa norma-norma itu sangat erat berjalinan : lapis norma yang di atas menimbulkan lapis norma yang di bawahnya.
Dalam bukunya Poetica, J.Elema melihat hubungan antara pengalaman jiwa yang diungkapkan dengan kata. Dengan dasar itu J.Elema mengemukakan dalil-dalil seni sastra, yang nantinya akan dianalisis oleh penulis lewat puisi Doa Sebelum Mandi. Mari kita lihat satu persatu apakah puisi Joko Pinurbo ini memenuhi dalil-dalil seni sastra J.Elema.
Berdasarkan analisis yang penulis buat di depan, ternyata dapatlah dilihat bahwa dalam puisi Joko Pinurbo tersebar pengalaman jiwa penyair, berupa konflik-konflik kejiwaan, kesadaran, eksistensinya dan moralnya. Ia seorang yang miskin dan celaka, keadaan ini membuatnya harus berusaha untuk mencari pekerjaan. Akan tetapi, dalam perkembangannya, dia menjadi seorang pembunuh bayaran. Kesadaran moralnya, tidak ingin dia terus menerus menjadi pembunuh bayaran. Kesadaran ini membuat batin jiwanya bergejolak sehingga ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Saat meninggalpun si saya masih mengalami konflik kejiwaan. Ia takut menghadap Tuhan, ia mengakui dosa-dosanya selama dia hidup dan memohon Tuhan mengampuninya. Semua pengalaman itu ternyata/terlihat dalam sajak-sajak tersebut. Jadi, ini berarti pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat terjelma ke dalam kata. Jadi terpenuhilah dalil pertama J.Elema tersebut.
Penulis akan mencoba meninjau apakah keutuhan pengalaman jiwa dan kelengkapan serta keluasannya dapat terlihat di dalamnya.

  1. niveau anorganis
Meliputi bunyi, kata, kombinasi kata, kalimat, gaya bahasa, baris, sajak, dan keseluruhan bentuk sajaknya. Semuanya itu menurut analisis di depan dalam lapis bunyi dan arti.
Dari lapis bunyi, penyair mempergunakan pola bunyi dan pola sajak. Pada bait pertama, pola bunyi i dapat mewakili ekspresi maksud penyair, yang kesemuanya menggambarkan suasana kegelisahan, ketakutan, yang dikombinasikan dengan pola bunyi an yang menunjukkan suasana kegelisahan. Jadi, penggunaan bunyi ini berhasil, bunyi ini mempunyai nilai seni karena dapat mengekspresikan maksud penyair. Demikian pula pada bait kedua dan ketiga di dominan bunyi an dengan kombinasi bunyi ang yang mengekspresikan kejujuran si saya yang dilukiskan dalam menjalani hidupnya. Jadi, bunyi-bunyi tersebut mempunyai nilai seni. Di tambah lagi variasi bunyi yang tidak monotone membuat pembaca cepat memahami maksud penyair.
Dari kombinasi kata yang digunakan, penyair lebih banyak menggunakan kata-kata yang konotatif. Kata-kata tersebut dapat kita lihat dalam bait ketiga baris terakhir : tapi di tubuh saya mereka tak dapat dilenyapkan. Tubuh dalam arti sebenarnya adalah badan seluruhnya, namun pada kalimat tadi tubuh diartikan sebagai raga, badannya yang telah mati yang tidak bisa lagi melenyapkan mereka, si korban.
Pada bait terakhir, juga dapat kita temukan kata-kata konotatif yang lain. Seperti, Tuhan mandikanlah saya, mandi sudah tidak diartikan sebagai membersihkan tubuh namun diartikan sebagai permohonan ampun. Di baris selanjutnya juga dapat kita temukan, agar saudara kembar saya, saudara kembar diartikan sebagai jasadnya.
Pada puisi ini tingkat anorganis yang lain dapat dilihat dari terdapatnya paralelisme yang menunjukkan keyakinan, mengintensifkan adanya kengerian, seperti yang tergambar dalam bait pertama :

Tuhan, saya takut mandi
Saya takut dilucuti
Saya takut pada tubuh saya sendiri.

Bila kita tinjau kembali uraian di atas, dari bunyi sampai ke pembagian baris sajak, dan variasi yang dilaksanakan penyair, maka ternyatalah bahwa penyair dapat mengekspresikan pengalaman jiwanya kembali dengan berhasil. Di sini teranglah bahwa sajak itu memenuhi tingkat pengalaman jiwa yang pertama, tingkat anorganis, yang harus ada dalam sajak untuk memberikan gambaran konkret atau untuk memberi bentuk dan wujud kepada pengalaman-pengalaman jiwa yang lain yang hendak dibeberkan itu. Dengan terpancarnya pengalaman jiwa tingkat pertama itu, maka sajak tersebut dapat menunjukkan sebagian nilai seninya. Maka, dari sudut ini saja sajak ini sudah menjadi puitis dan bernilai seni.


  1. niveau vegetatif
Meliputi suasana sajak (mood) yang memeberikan keharuan kepada sajak itu.
Bila dilihat uraian di atas, ternyatalah bahwa pola sajak, pola bunyi yang dipergunakan oleh penyair mempunyai daya evokatif yang besar, dapat menimbulkan rasa kengerian, kekejaman, dan ketakutan serta kegelisahan. Perasaan gundah dan duka serta kecemasan disebabkan oleh pertentangan batin, sedangkan perasaan ketakutan disebabkan oleh pertemuan antara manusia dengan Tuhan. Di samping itu, ada suasana renungan kepada hakikat kehidupan. Suasana kegelisahan yang hebat itu menguasai seluruh sajak dari awal hingga akhir, dibangkitkan lagi oleh baris sajak yang pendek-pendek dengan sajak akhir yang didominasi bunyi nya pada baris terakhir. Maka ternyatalah pengalaman tingkat kedua ini dapat terjelma ke dalam kata.


3. niveau animal
Meliputi nafsu-nafsu hidup, tanggapan-tanggapan inderaan yang konkret dan nafsu-nafsu jasmaniah. Dalam sajak yang penulis analisis, terpancar dalam kata-kata, ungkapan-ungkapan yang menimbulkan penginderaan yang jelas dan rangsangan kepada perasaan naluri jasmaniah.
Seperti dalam bait pertama : ”takut”, ”mandi”, dan ”tubuh” merupakan gambaran yang konkret dan rangsangan keinderaan. Dalam bait kedua : ”mayat yang saya sembunyikan akan bangun dan berkeliaran”, kalimat ini memancarkan perasaan / ketakutan manusia yang wajar. Kata ”bangun” yang disambung dengan kata ”berkeliaran” akan merangsang penginderaan dan naluri kengerian yang menggetarkan jiwa.
Dalam bait ketiga: ”untuk menculik dan membinasakan orang ”. Baris ini dapat merangsang tanggapan penginderaan kita tentang naluri kekejaman si saya. Dalam bait terakhir : ”bisa damai dan tenang di tubuh pembunuhnya”, merupakan wujud penginderaan manusia yang merangsang naluri penyesalan. Semua kata tersebut merupakan penjelmaan pengalaman jiwa tingkat animal. Di samping itu, juga segala ungkapan yang bermaksud mengkonkretkan tanggapan penginderaan pengalaman termasuk ke dalam tingkatan ketiga ini. Secara keseluruhan pengalaman ini adalah kesadaran penyair kepada eksistensinya bahwa sebagai manusia ia ingin dapat merasakan sesuatu dengan secara konkret dapat diindera, ingin dapat merasakan atau memenuhi segala nafsu-nafsu ketenangan dan kedamaian yang ingin dia rasakan. Dalam sajak ini keinginan itu terjelma dalam bentuk keinginan menikmati kedamaian dan ketenangan dengan cara memohon kepada Tuhannya untuk mengampuni dosa-dosanya yang telah diperbuatnya.


4. niveau human
Merupakan tingkatan yang lebih tinggi, dalam sajak ini tampak dalam kesadaran si saya bahwa ia sadar telah menjadi seorang pembunuh bayaran hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, serta ia merasa berdosa atas perbuatannya itu. Kesadaran itu menyebabkan ia merasa tidak pantas menghadap Tuhan, dia takut mandi, dia takut Tuhan akan mengadilinya, terpancar dalam baris-baris berikut.

Tuhan, saya takut mandi
Saya takut dilucuti
Saya takut pada tubuh saya sendiri...
( bait pertama )

Pertentangan batin penyair terbeber juga dalam bait ketiga :
Saya ini orang miskin dan celaka
Hidup saya sehari-hari sudah telanjang
Juga terpancar pada kalimat berikutnya :

Kerja saya mencari pekerjaan
Tubuh saya sering dipinjam orang
Untuk menculik dan membinasakan orang

Begitulah pertentangan batin si saya yang berupa kesadaran eksistensinya, kesadaran moral dan kesadaran keimanannya tampak begitu tragis dan dramatis dibeberkan oleh penyair dalam sajaknya.
Di samping itu, sublimasi yang dilaksanakan penyair itu adalah keinginan penyair untuk memberi pengalaman jiwa yang lebih tinggi dari pengalaman tingkat animal, yang berupa realitas kasar menjadi halus dan sopan, seperti : tubuh saya sering dipinjam orang, mandikanlah saya, saudara kembar. Dengan sublimasi ini suasana kekejaman, penyesalan dan ketakutan menjadi diperhalus dengan disertai sedikit renungan yang sifatnya lebih nyata.

5. niveau religius, filosofis dan metafisik
Puisi Doa Sebelum Mandi ini, sudah memberi persediaan renungan yang bersifat ketuhanan walaupun penyair tidak menyebutkan si saya beragama apa, namun kita tahu bahwa tokoh tersebut merupakan seorang yang beriman. Kata Tuhan yang digunakan penyair telah mewakili gambaran isi puisi bahwa walaupun si saya tidak diketahui agamanya, namun Tuhan terlibat di dalam doanya ini membuktikan bahwa dia masih percaya kepada Tuhan.
Dalam sajak ini si saya menampakkan diri sebagai orang miskin, seorang eksistensialisme dan seorang yang beriman dan bukan berpaham Atheisme. Sebagai orang beriman, ia menyadari perbuatan-perbuatan yang dilakukan pada hakikatnya berdosa, tetapi ia seorang manusia biasa yang tidak lepas dari seluruh keberadaannya hingga kesadaran ini memberikan kesimpulan padanya bahwa pada hakikatnya dia takut pada Tuhan namun ingin mendapatkan ketenangan dan kedamaian.
Manusia sebagai individu mempunyai persoalan-persoalan sehingga harus diselesaikan sendiri-sendiri, sampai pertemuan dengan Tuhanpun harus dilakukan sendiri, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tidak mungkin selesai persoalannya dengan Tuhan bila bersama berdoa dengan kumpulan umat. Mempertanggungjawabkan perbuatan pribadi ini salah satu aspek eksistensialisme. Jadi teranglah dalam sajak ini penyair menampilkan pengalaman jiwanya sebagai orang beriman dan seorang penganut filsafat eksistensialisme. Renungan pengalaman jiwa yang bersifat religius dan kefilsafatan ini dapat membawa kesempurnaan manusia hingga dapat memperhalus taraf hidupnya.


KESIMPULAN

Begitulah, bila uraian kita tinjau kembali, puisi Doa Sebelum Mandi ini dapat memenuhi kriteria yang diajukan J. Elema yang berupa dalil-dalil seni sastranya itu. Dengan demikian sajak ini mempunyai nilai seni yang tinggi.
Bila nilai seni ini dinyatakan dengan definisi Benedetto Croce : sajak ini mengandung nilai keindahan karena cara pembeberannya berhasil baik sebagai sifat seni yang pokok.
Bila dinyatakan dengan pengertian keindahan menurut Slametmuljana, sajak ini indah karena cara pembeberannya berhasil baik sehingga pembaca dapat ikut mengalami ketakutan, kengerian, kegelisahan, kekejaman serta keharuannya dalam menghadapi persoalan-persoalan yang dibeberkan.
Kalau dinyatakan dengan kriteria estetik: sajak ini bernilai estetik di samping itu mengandung kebesaran karena dapat menampilkan pengalaman jiwa yang besar, yang dapat dijelmakan ke dalam sajak secara estetik. Maka sajak ini memenuhi fungsi hakikat seni sastra yang dikemukakan oleh Horace : dulce et utile, menyenangkan dan berguna. Menyenangkan karena cara pembeberannya menarik dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia dalam hidupnya. Berguna karena puisi ini dapat memberikan nilai sosial, moral dan religius bagi pembacanya.
Mengenai kriteria keasliannya, ternyata bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia, ungkapan-ungkapan sajak ini asli belum pernah ada sebelumnya. Karena puisi ini dan puisi-puisi lainnya karya Joko Pinurbo dapat dipandang sebagai suatu seismograf kebudayaan, karena dia menyingkapkan dan mengingatkan kembali pentingnya badan dalam hidup, dalam kebudayaan dan dalam puisi Indonesia. Selain itu jika ditinjau dari pembagian baris sajak dan baitnya, terdiri bai-bait yang berisi tiga baris pendek dan salah satu bait menggunakan baris yang cukup panjang yaitu tujuh baris.
Di samping itu, ide untuk mengambil unsur-unsur puisi lama, seperti penggunaan baris sajak, persamaan bunyi ( sajak ) yang disesuaikan dengan maksud dan isi dan penggunaan paralelisme adalah ide Joko Pinurbo yang baru. Begitu juga seperti Sitor, Joko Pinurbo juga memasukkan faham eksistensialisme secara tegas. Begitu juga ide untuk menampilkan persoalan serta konflik batin yang kompleks, ini adalah asli, yaitu persoalan-persoalan manusia yang mendapat bermacam-macam pengaruh dari luar : miskin, takut akan Tuhan, menjadi pembunuh bayaran, eksistensialisme, dan sebagainya. Begitu juga, gaya-gaya yang dipergunakan, kombinasi kata dan kalimat, khususnya penggunaan tubuh / badan sebagai ciri khas dari puisi Joko Pinurbo yang tidak ada persamaannya dengan gaya-gaya yang pernah dipergunakan oleh penyair-penyair lain, seperti yang berikut ini :

+ Saya takut pada tubuh saya sendiri
+ Kalau saya buka tubuh saya nanti
+ Tubuh saya sering dipinjam orang
+ Tapi di tubuh saya mereka tidak bisa dilenyapkan
+ Bisa damai dan tenang di tubuh pembununhya.
Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa puisi Doa Sebelum Mandi karya Joko Pinurbo ini memenuhi kriteria keaslian, banyak mengandung daya kreatif, menunjukkan daya cipta yang besar, dan dapat ditemukan pengalaman jiwa pengarangnya yang tinggi. Dalam puisi ini juga dapat dilihat bahwa puisi ini telah memenuhi analisis Roman Ingarden dan J.Elema. Hendaknya kita ingat bahwa arti keaslian adalah bukan menjiplak : karya sastra itu mengandung daya cipta karena kebaruannya, belum pernah ada sebelumnya.


DAFTAR PUSTAKA


Pinurbo, Joko. 2001. Kumpulan Puisi : Di Bawah Kibaran Sarung. Magelang : Indonesiatera.
Pradopo, Rachmat Djoko.1994. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.





Tidak ada komentar: